KABAREKONOMI.ID, Jakarta – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan ketentuan baru yaitu Peraturan OJK (POJK) Nomor 18 Tahun 2022, tentang Perintah Tertulis (POJK Perintah Tertulis). Adapun aturan ini bertujuan untuk memperkuat pengawasan sektor jasa keuangan.
Direktur Humas OJK Darmansyah mengatakan, POJK Perintah Tertulis diterbitkan dalam rangka pelaksanaan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf f dan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud Pasal 9 huruf d Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Adapun POJK Perintah Tertulis terdiri dari 3 Bab yang terdiri dari Ketentuan Umum, Tata Cara Pemberian Perintah Tertulis, dan Ketentuan Penutup.
Beleid yang ditetapkan pada 14 Oktober 2022 itu ditandatangani Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 17 Oktober 2022 di Jakarta yang ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly.
Darmansyah menjelaskan penerbitan POJK ini, untuk meningkatkan tugas pengaturan dan tugas pengawasan seluruh sektor jasa keuangan termasuk pengawasan perilaku pasar (market conduct), serta untuk menjalankan kewenangan OJK secara lebih transparan dan akuntabel.
“Penerbitan POJK Perintah Tertulis yang berlaku untuk seluruh sektor jasa keuangan ini disusun sebagai protokol pelaksanaan tindakan pengawasan dalam pemberian Perintah Tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan atau pihak tertentu,” ujarnya dalam keterangan tulis, Kamis (27/10/2022).
Adapun pihak tertentu yang dimaksud adalah pihak selain LJK yang terkait dengan LJK atau melaksanakan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, yaitu pihak utama LJK, pihak yang memiliki hubungan dengan LJK, dan emiten atau perusahaan publik.
Maka demikian, lanjut Darmansyah, mekanisme serta tata cara pemberian dan pelaksanaan Perintah Tertulis kepada LJK dan atau Pihak Tertentu dapat berjalan secara lebih transparan dan lebih akuntabel.
Dalam beleid ini, Perintah Tertulis didefinisikan sebagai perintah secara tertulis oleh OJK kepada LJK dan atau pihak tertentu untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu, guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan atau mencegah dan mengurangi kerugian konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan.
Sementara itu, bagi LJK yang melanggar Perintah Tertulis akan dikenakan sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 53 atau Pasal 54 UU OJK yang mengatur ketentuan pidana terkait pelanggaran ketentuan termasuk pelanggaran terkait Perintah Tertulis.
“Pelaksanaan ketentuan pidana ini menjadi kewenangan aparat penegak hukum,” ucapnya.
Darmansyah meyakini diterbitkannya POJK Perintah Tertulis diharapkan mampu meningkatkan fungsi pengawasan sektor jasa keuangan, sehingga terselenggara seluruh kegiatan di dalam SJK secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel.
Namun demikian, OJK menyadari tindak lanjut Perintah Tertulis oleh LJK dan atau Pihak Tertentu dapat berjalan tidak sesuai dengan yang diharapkan, antara lain sehubungan dengan adanya perubahan kondisi internal dan eksternal dalam pemenuhan Perintah Tertulis oleh LJK dan atau pihak tertentu.
Maka itu, dalam hal LJK dan atau pihak tertentu telah memenuhi Perintah Tertulis namun kondisi LJK dan atau Pihak Tertentu tidak menunjukkan perbaikan dan atau terdapat permasalahan lain, OJK dapat menetapkan tindakan pengawasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“OJK akan terus berupaya sesuai kewenangannya untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, serta terlindunginya kepentingan konsumen dan masyarakat,” ucapnya. (ilm)