KABAREKONOMI.ID – Dunia yang diramal akan mengalami resesi di 2023. Tanda-tandanya sudah terlihat dari respon pasar finansial. Investor selalu forward looking, ketika 2023 dirasa benar akan terjadi resesi, aksi jual pun diambil.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street terus merosot dalam 3 hari terakhir. Pada perdagangan Selasa (30/8/2022) waktu setempat indeks Dow Jones merosot 0,96% ke 31.790,87, sementara S&P 500 dan Nasdaq jeblok masing-masing 1,1% ke 3.986,16 dan 11.883,14.
Sebelumnya pada Jumat pekan lalu, ketiga indeks utama tersebut jeblok lebih dari 3%, dan penurunan juga berlanjut pada awal pekan meski dengan persentase yang lebih rendah. Yang menarik, jebloknya Wall Street pada perdagangan Selasa ditimpali oleh minyak mentah hingga emas.
Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan Brent masing-masing jeblok 5,5% ke US$ 91,64/barel dan US$ 99,31/barel.
Seperti diketahui, tingginya harga minyak mentah memicu kenaikan harga energi yang gila-gilaan sehingga memicu lonjakan inflasi, hingga memunculkan risiko resesi dunia.
Isu resesi kini “menyerang balik” minyak mentah. Ketika resesi terjadi artinya perekonomian mengalami kemerosotan, dan permintaan minyak mentah juga akan menurun.
Resesi bisa terjadi akibat bank sentral di berbagai negara yang sangat agresif dalam menaikkan suku bunga guna meredam inflasi.
Sebelumnya dalam simposium Jackson Hole, ketua The Fed Jerome Powell menegaskan masih akan terus menaikkan suku bunga dengan agresif hingga inflasi melandai. Bahkan suku bunga akan ditahan di level tinggi dalam waktu yang lama sampai inflasi mencapai target 2%.
“Memulihkan stabilitas harga kemungkinan membutuhkan stance yang ketat dalam waktu yang lama. Catatan sejarah sangat menentang pelonggaran kebijakan moneter yang prematur,” kata Powell dalam acara simposium Jackson Hole, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/8/2022).
Artinya suku bunga tinggi masih akan ditahan dalam waktu yang lama, mengesampingkan pemangkasan di 2023. Powell pun menekankan jika perekonomian Amerika Serikat akan mengalami “beberapa rasa sakit”.
“Saat suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi melambat, dan pasar tenaga kerja yang melemah maka akan membawa inflasi turun, itu juga akan memberikan beberapa kesakitan bagi rumah tangga dan dunia usaha. Itu adalah biaya yang harus kita tanggung guna menurunkan inflasi. Memang menyakitkan, tetapi kegagalan menurunkan inflasi berarti penderitaan yang lebih besar akan terjadi,” kata Powell.
Yang terbaru, presiden The Fed wilayah New York, John William, juga menegaskan perlunya kebijakan moneter yang ketat guna memperlambat demand, sehingga inflasi bisa diredam.
“Kita perlu kebijakan yang ketat untuk memperlambat demand, dan kita belum sampai di sana,” kata Williams, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (31/8/2022).
Bank sentral lainnya yang juga mengalami masalah inflasi juga bisa jadi akan mengambil kebijakan yang sama, sehingga risiko resesi dunia semakin nyata.
Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) misalnya, sudah menunjukkan tanda-tanda akan agresif. Anggita dewan gubernur ECB, Madis Muller mengatakan ECB seharusnya mulai mendiskusikan kenaikan 75 basis poin di bulan September.
Saat dunia akan mengalami resesi, emas yang merupakan aset safe haven biasanya menjadi buruan pelaku pasar. Tetapi tidak kali ini. Harga emas justru ikut melempem. Pada perdagangan Selasa, jeblok 0,82% ke US$ 1.723/troy ons, dan tidak jauh dari level terendah 16 bulan yang disentuh pada Juli lalu.
Melempemya harga emas tidak lepas dari sikap agresif The Fed dan bank sentral lainnya dalam menaikkan suku bunga. Suku bunga tinggi adalah musuh utama emas. Saat suku bunga tinggi, imbal hasil obligasi juga akan naik.
Emas dan obligasi, apalagi Treasury AS sama-sama dianggap aset safe haven. Bedanya, Treasury memberikan imbal hasil (yield) sementara emas nihil. Sehingga, saat suku bunga naik, yield ikut tinggi yang membuat Treasury lebih menarik ketimbang emas.
Selain itu, kenaikan suku bunga The Fed juga membuat indeks dolar AS melesat ke level tertinggi dalam 20 tahun terakhir, yang juga menekan emas.
Harga emas pun diperkirakan masih akan terus merosot ke satu tahun ke depan.
“Tidak ada sesuatu yang bisa membuat pergerakan harga besar ke atas bagi emas sampai kita melihat The Fed berbalik memangkas suku bunganya, Dan itu tidak akan terjadi, setidaknya hingga akhir 2023,” kata Bart Melek, kepala komoditas global di TD Securities, sebagaimana dilansir Kitco, Jumat (26/8/2022).