Home » IHSG Loyo Lagi, Nyaris Jebol Ke Bawah 7.000

IHSG Loyo Lagi, Nyaris Jebol Ke Bawah 7.000

by Tia

KABAREKONOMI.ID, – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup terkoreksi pada perdagangan Rabu (02/11/2022), di tengah lesunya pasar saham global.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut ditutup melemah 0,52% ke posisi 7.015,69. IHSG lagi-lagi makin menjauhi level psikologisnya di 7.100.

Pada perdagangan sesi I hari ini, IHSG dibuka stagnan di posisi 7.052,3. Selang satu menit, IHSG terpantau melemah tipis. Sekitar 10 menit setelah dibuka, IHSG sempat menguat dan menembus level tertinggi hariannya di 7.074,23. Namun setelah menyentuh level tersebut, IHSG kembali berbalik arah ke zona merah hingga penutupan perdagangan sesi I hari ini.

Sedangkan di perdagangan sesi II, pelemahan IHSG pun berlanjut. Bahkan menjelang akhir perdagangan, IHSG sempat menembus kisaran 6.900 dan menjadi level terendah hariannya. Pada akhir perdagangan hari ini, IHSG mampu memangkas pelemahannya tetapi masih belum berhasil ke zona hijau.

Nilai transaksi indeks pada hari ini mencapai sekitaran Rp 14 triliun dengan melibatkan 22 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 232 saham terapresiasi, 285 saham terdepresiasi dan 184 saham stagnan.

Saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) kembali menjadi pemberat terbesar indeks pada hari ini, di mana saham TLKM memberatkan indeks sebesar 24,062 indeks poin. Saham TLKM ditutup ambles 4,52% ke posisi Rp 4.220/unit.

Sedangkan di posisi kedua dan ketiga, ada saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dan saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang juga memberatkan indeks masing-masing 15,272 indeks poin dan 7,122 indeks poin

Saham BMRI ditutup ambles 3,12% ke posisi Rp 10.075/unit. Sedangkan saham BBRI berakhir merosot 1,07% menjadi Rp 4.610/unit.

Melemahnya IHSG sejalan dengan Bursa saham Amerika Serikat (AS) yang kembali ditutup melemah pada perdagangan di awal November 2022. Indeks Dow Jones turun 0,24%, S&P 500 dan Nasdaq Composite masing-masing melemah 0,41% dan 0,89%.

Volatilitas di pasar aset-aset berisiko seperti saham masih dirasakan oleh berbagai pihak terutama investor.

Selain itu, ada penurunan imbal hasil (yield) obligasi AS (US Treasury Note). Untuk diketahui, yield obligasi negara acuan AS tenor 10 tahun sempat turun ke bawah 4%. Namun penurunannya hanya 3 basis poin (bp) saja dan masih dalam tren naik.

Para pelaku pasar saat ini tengah fokus menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Kamis dini hari waktu Indonesia.

Bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3,75% – 4%.

Pasar sudah jauh-jauh hari mengantisipasi kenaikan tersebut, jika The Fed juga memberi kejutan, tentunya akan berdampak positif ke pasar finansial global, termasuk Indonesia. Pun, jika tidak ada kejutan, pasar akan melihat bagaimana proyeksi kenaikan ke depannya, apakah akan dikendurkan juga, mengingat pendapat para pejabat The Fed sudah terbelah.

Melansir FedWatch, sebanyak 87,2% analis memprediksikan Fed akan menaikkan suku bunga acuan 75 bp dan mengirim tingkat suku bunga ke 3,75%-4%. Sementara 12,8% memproyeksikan kenaikan 50 bp.

Bukan hanya The Fed, harga komoditas, kinerja keuangan emiten dan pergerakan nilai tukar patut diwaspadai menjadi katalis negatif bagi indeks acuan Tanah Air.

Di pasar komoditas, harga batu bara memang naik 1,39% ke US$ 369/ton. Namun harga batu bara telah anjlok tajam dibandingkan dengan awal bulan September 2022 yang mencapai US$ 463/ton.

Di sisi lain, pelaku pasar masih mencermati rilis data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait inflasi periode Oktober 2022 mencapai 5,71% secara tahunan (year-on-year/yoy), lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5,95%.

Inflasi menjadi faktor yang paling penting untuk dikendalikan saat ini. Sebab, terkait dengan daya beli masyarakat. Semakin tinggi inflasi maka daya beli masyarakat akan menurun, dan berdampak ke pertumbuhan ekonomi. Dengan inflasi yang bisa dikendalikan, maka perekonomian yang terus tumbuh dan semakin menjauhi resesi.

Baca Juga