Home » Tegas! APINDO Tolak Permenaker 18/2022. Ini Alasannya

Tegas! APINDO Tolak Permenaker 18/2022. Ini Alasannya

by bahar

KABAREKONOMI.ID, Batam – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyesalkan keluarnya terbitnya Permenaker Nomor 18 tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 yang menetapkan kenaikan upah minimum (UM) maksimal sebesar 10 persen.

Hal ini terungkap dalam surat yang ditandatangani oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B. Sukamdani beserta Sekretaris Umum Eddy Hussy.

Dalam surat tersebut, Apindo menilai pemberlakuan tersebut hanya untuk mengakomodir kepentingan buruh yang sedang bekerja. Padahal, kata dia, upah minimum sejatinya untuk membuka kepentingan pencari kerja.

“DPN APINDO dengan dukungan dari seluruh jajaran APINDO di Provinsi dan Kabupaten/Kota serta berkonsolidasi dengan Asosiasi Sektor Industri dan Usaha, bersikap untuk melakukan Uji Materiil atas Permenaker 18/2022 kepada Mahkamah Agung. Sementara menunggu proses uji materiil tersebut,” terangnya.

Untuk itu, pihaknya mengimbau kepada kepada seluruh DPP dan DPK APINDO bersikap untuk; tetap menggunakan PP 36/2021 sebagai dasar penetapan upah minimum dalam forum perundingan di dewan pengupahan setempat; dan Melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), apabila Gubernur menetapkan upah minimum yang bertentangan dengan PP 36/2021.

Sementara itu, Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Apindo Antonius J. Supit sangat mengritisi adanya hal tersebut.

Menurutnya, apa yang dilakukan tersebut mengorbankan kepentingan kelompok pencari kerja. Upah minimum adalah untuk orang yang mau bekerja. “Coba misalnya saja, orang yang sedang bekerja beberapa lama, terus dia pindah apakah mau digaji sama dengan pas awal dia kerja? Kan engga,” ujar Anton.

Dia menambahkan pelaku usaha di sektor padat karya akan sulit membuka lapangan kerja apabila kenaikan tersebut diberlakukan. Sebab, saat ini, kata dia, untuk sektor garmen, sepatu dan tekstil sedang mengalami kelesuan, karena permintaan ekspor anjlok signifikan.

Anton membeberkan, untuk ekspor sepatu, permintaannya mengalami penurunan sebesar 50 persen dan garmen 30 persen. Alhasil, ujar dia, pengusaha terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran.

“Sehingga kita tidak bisa lagi menahan pekerja yang ada. Bukan tidak mau mempertahankan, kita tak sanggup bayar. Industri sepatu itu pekerjanya itu 10.000 biasa, bahkan ada yang 100.000. 10.000 ini kalau digaji Rp4-5 juta pekerjanya itu 40-50 miliar. Dengan tidak ada order you kuat berapa lama. bisa saja pemerintah jangan PHK, tapi siapa yang mesti bayar?,” ungkap Anton.

Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini yang berada di kisaran 5 persen, Anton menilai hal itu didorong oleh ekspor komoditas, bukan manufaktur khususnya tekstil.

“Dengan kondisi ini saya tidak paham. Karena untuk sektor ekspor padat karya, itu bisa dikatakan jelek. Ini kok malah menaikkan [UM] itu yang saya tidak paham,” kata dia.

Kemudian, lanjut Anton kenaikan UM itu melanggar UU Ciptaker yakni turunannya PP No 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.

“Permen kan lebih rendah dari PP. Di sinilah kebingungan kita. Jadi tidak bisa bilang ini setuju atau tidak setuju. Biarlah orang menafsirkan kita,” ucap Anton.

Dihubungi terpisah, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhsitira mengatakan poin penting pembahasan upah minimum sebenarnya terletak pada perlindungan pekerja.

Artinya upah minimum tidak boleh di bawah tingkat inflasi yang terakhir dialami Indonesia hampir 6 persen atau tepatnya 5,71 persen secara tahunan.

Dia membeberkan selain mempertimbangkan inflasi, juga harus disisakan ruang untuk daya beli dalam mempertimbangkan upah minimum, yakni 5 persen. Bhima mengatakan apabila upah minimumnya berada di atas inflasi dan ada surplus pertambahan ekonomi, artinya ada tambahan daya beli untuk pekerja.

Dengan begitu, kata dia, yang diuntungkan adalah para pelaku usaha. Menyitir Teori David Card, seorang peraih nobel ekonomi tahun 2021, Bhima menjelaskan upah minimum tidak berkorelasi terhadap penurunan kesempatan kerja. Sebab, menurutnya ,yang terjadi justru jika upah minimum naik kesempatan kerja bertambah.

“Dan yang diuntungkan upah minimum naik justru pelaku usaha, karena daya beli pekerjanya bagus, dia akan membelanjakan uangnya. Dan uangnya akan kembali apda omzet dari pelaku usaha dan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi. Itulah mengapa upah minimum juga jadi instrumen mendrong terutama dalam menghadapi resesi,” ungkap.