KABAREKONOMI.ID – Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup cerah pada perdagangan Senin (31/10/2022) awal pekan ini, setelah data aktivitas pabrik China meleset dari ekspektasi dan pasar menantikan pertemuan bank sentral Amerika Serikat (AS) pekan ini.
Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melejit 1,78% ke posisi 27.587,46, Straits Times Singapura melesat 1,11% ke 3.093,11, KOSPI Korea Selatan juga melesat 1,11% ke 2.293,61, ASX 200 Australia melonjak 1,15% ke 6.863,5, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat 0,61% menjadi 7.098,89.
Namun untuk indeks Hang Seng Hong Kong dan Shanghai Composite China ditutup di zona merah pada hari ini. Indeks Hang Seng ditutup ambles 1,18% ke posisi 14.687,02 dan Shanghai melemah 0,77% menjadi 2.893,48.
Dari China, data aktivitas manufaktur berdasarkan Purchasing Manager’s Index (PMI) periode Oktober versi pemerintah (NBS) dilaporkan turun menjadi 49,2, dari sebelumnya pada September lalu di angka 50,1.
Angka ini juga lebih rendah dari prediksi pasar dalam surveri Reuters yang memperkirakan PMI manufaktur turun tipis menjadi 50.
PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi.
Aktivitas pabrik di Negeri Tirai Bambu itu kembali turun karena melemahnya permintaan global dan masih diberlakukannya pembatasan ketat Covid-19.
Para ekonom melihat kebijakan nol-covid China saat ini sebagai kendala utama pada ekonomi dan memperkirakan pembatasan akan tetap berlaku untuk beberapa waktu setelah Kongres Partai Komunis yang memenangkan Xi Jinping sebagai pemimpin tiga periode.
Hal ini telah menimbulkan kekhawatiran bahwa kepemimpinan politik baru China bakal memprioritaskan pengendalian Covid-19 di atas pertumbuhan ekonomi.
Ekonom memperkirakan China akan kehilangan target pertumbuhan tahunan sekitar 5,5%, dengan perkiraan pertumbuhan 2022 sebesar 3,2% saja. Selanjutnya, proyeksi pertumbuhan China baru akan meningkat hingga 5,0% pada 2023.
Sementara itu dari Jepang, data produksi industri pada periode September lalu turun 1,6%, dari sebelumnya pada Agustus lalu sebesar 3,4%.
Angka ini juga lebih rendah dari ekspektasi pasar dalam polling Reuters yang memperkirakan penurunan 1% dan mengakhiri pertumbuhan selama tiga bulan beruntun.
Penurunan tersebut dipimpin oleh sektor kendaraan bermotor, bahan kimia, dan mesin produksi.
Sebuah survei pemerintah memperkirakan angka produksi industri diprediksi kembali turun pada Oktober, baru di November mendatang, data produksi industri diperkirakan kembali meningkat.
Adapun dari Australia, data penjualan ritel pada periode September 2022 naik 0,6%, masih sama seperti pada Agustus lalu yang juga naik 0,6%.
Penjualan produk pakaian, alas kaki, dan aksesoris pribadi naik 2%, sementara sektor kafe, restoran, dan makanan takeaway naik 1,3%.
Meski terlihat cerah, tetapi pasar keuangan global, termasuk di Asia-Pasifik masih belum benar-benar kondusif. Isu resesi di tahun 2023 masih terus dihembuskan oleh berbagai pihak.
Kekhawatiran soal resesi bukan tanpa alasan. Di saat inflasi masih naik, bank sentral terutama negara-negara Barat masih agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
Pada pekan ini, investor global bakal menanti pengumuman kebijakan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) di bulan November 2022.
Asal tahu saja, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sejak Maret 2022 hingga September 2022 sebesar 300 bp. Suku bunga dikerek naik dari 0,25% menjadi 3,25%.
Apabila The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp lagi maka suku bunga acuan akan berada di 4% untuk bulan November 2022.
Tak hanya The Fed saja, beberapa bank sentral juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga terbarunya pada pekan ini. Adapun bank sentral tersebut yakni bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA), dan lain-lainnya.
Di Inggris, BoE kan mengumumkan tingkat suku bunga baru, dengan pasar bertaruh pada kenaikan 75 bp setelah inflasi kembali ke level tertinggi 40 tahun pada September lalu dan upaya menstabilkan pasar setelah Rishi Sunak menggantikan Liz Truss sebagai perdana menteri.
Sedangkan di Australia, RBA diprediksi akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bp menjadi 2,85%, dari sebelumnya sebesar 2,6%.