KABAREKONOMI.ID, Batam – Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup cerah bergairah perdagangan Jumat (14/10/2022), di mana investor cenderung mengabaikan data inflasi terbaru Amerika Serikat (AS).
Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup meroket 3,25% ke posisi 27.090,76, Hang Seng Hong Kong melesat 1,21% ke 16.587,69, Shanghai Composite China melonjak 1,84% ke 3.071,99, ASX 200 Australia terdongkrak 1,75% ke 6.758,8, dan KOSPI Korea Selatan melejit 2,3% menjadi 2.212,55.
Namun untuk indeks Straits Times Singapura ditutup turun tipis 0,03% ke posisi 3.039,61 dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir merosot 0,96% menjadi 6.814,53.
Dari China, inflasi pada periode September 2022 naik hingga ke level tertingginya dalam dua tahun terakhir.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional (NBS), inflasi dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) Negeri Panda pada bulan lalu dilaporkan mencapai 2,8% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 2,5% pada Agustus lalu.
Angka tersebut tertinggi sejak April 2020, saat China mengalami gelombang pertama penguncian (lockdown) Covid-19.
Realisasi itu sesuai dengan ekspektasi ekonom dalam survei Reuters. Kenaikan ini didorong oleh melonjaknya harga daging babi dan cuaca ekstrem yang melanda petani.
Selain itu, IHK yang kembali meninggi juga terjadi saat suhu di negara tersebut berada di atas 40 derajat celsius, yakni rekor musim panas terpanas di China yang menyebabkan kekeringan pada Agustus.
“Dampak oleh suhu tinggi dan curah hujan yang rendah, harga sayuran segar naik 6,5% secara tahunan,” kata ahli statistik senior NBS Dong Lijuan dalam sebuah pernyataan, mengutip AFP.
Sementara harga daging babi, makanan favorit negara itu, melonjak 36%.
“Dengan ekspektasi bullish, beberapa peternak babi enggan menjual, dan harga terus naik,” kata Dong.
Pihak berwenang China telah berulang kali mengeluarkan cadangan daging babi dalam beberapa pekan terakhir karena melonjaknya harga memicu kekhawatiran inflasi.
Sementara itu, inflasi di tingkat produsen (Indeks Harga Produsen/IHP) dilaporkan turun menjadi 0,9%, terendah dalam lebih dari satu tahun, didukung oleh jatuhnya harga bahan baku. Angka tersebut turun dari kenaikan 2,3% pada Agustus dan terendah sejak Januari 2021.
“Pada bulan September, harga minyak mentah internasional dan komoditas curah lainnya terus menurun,” pungkas Dong.
Sementara itu dari Singapura, perekonomiannya pada kuartal III-2022 tumbuh 4,4% (yoy). Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) pada kuartal III-2022 tersebut turun dibandingkan dengan pertumbuhan para triwulan sebelumnya sebesar 4,5% yoy.
Namun, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan kuartal I-2022 yang sebesar 3,9% (yoy).
Meskipun menurun, pertumbuhan ekonomi kali ini jauh di atas ekspektasi para ekonom dalam survei Reuters sebesar 3,4%.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq) tercatat sebesar 1,5%, berbalik dari kontraksi 0,2% pada kuartal II-2022.
“Ekspansi ini sebagian didukung oleh pemulihan yang lebih kuat dari perkiraan di sektor berorientasi domestik dan terkait perjalanan karena lebih banyak pembatasan Covid-19 di luar negeri sementara lokal dilonggarkan,” kata Otoritas Moneter Singapura (MAS), Jumat (14/10/2022) dikutip dari AFP.
Singapura telah menghapus semua pembatasan Covid-19, kecuali mengenakan masker di dalam bus dan kereta metro, setelah memvaksinasi sebagian besar populasinya yang berjumlah hampir 6 juta dan memutuskan untuk hidup dengan Covid-19.
Pasar cenderung mengabaikan sentimen dari inflasi AS terbaru. Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan IHK AS mencapai ke 8,2% (yoy) pada September lalu.
Laju inflasi memang lebih rendah dibandingkan pada Agustus yang tercatat 8,3% (yoy), tetapi masih di atas ekspektasi pasar yakni 8,1% (yoy).
Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi tercatat 0,4% pada September atau meningkat dibandingkan pada Agustus yang tercatat 0,1%. Inflasi inti menyentuh 6,6 % (yoy) pada September, level tertingginya sejak 1982 atau 40 tahun terakhir.
Data inflasi membuat pelaku pasar menghapus harapan mereka jika bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan melonggarkan kebijakan moneter dalam waktu dekat.
Namun, pelaku pasar juga mulai meyakini jika inflasi AS sudah mencapai puncaknya dan akan terus melandai ke depan.
Kedua faktor itulah yang membuat perdagangan kemarin berlangsung sangat “liar”. Bursa saham AS, Wall Street yang sempat ambruk di awal perdagangan sebagai respon atas data inflasi yang masih di atas ekspektasi, kemudian berhasil berbalik arah setelah dua jam perdagangan.
“Mungkin ini terakhir kali kita melihat inflasi yang lebih tinggi daripada ekspektasi dan selanjutnya inflasi akan melandai. Apa yang terjadi pada perdagangan intraday membuktikan sifat alamiah dari “pemburu” di bursa,” tutur Liz Ann Sonders, chief investment strategist Charles Schwab, dikutip dari KABAREKONOMI.ID.
(**)