Home » Aset Kripto Diatur OJK & BI, Gimana?

Aset Kripto Diatur OJK & BI, Gimana?

by Tia

KABAREKONOMI.ID – Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang tengah dibahas saat ini memuat aturan baru bahwa aset kripto dimasukkan sebagai inovasi teknologi sektor keuangan (ITSK), sehingga pengawasan dan regulasinya akan berada di bawah kendali OJK dan Bank Indonesia (BI).

Jika aturan ini lolos, maka Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) harus merelakan wewenangnya berpindah tangan. 

Selama ini, Bappebti sudah memiliki aturan jelas yang mengatur terkait aset kripto melalui Peraturan Bappebti No.8/2021 yang mengatur tentang pedoman penyelenggaraan perdagangan pasar fisik aset kripto di bursa berjangka.

Terkait dengan hal ini, Direktur Eksekutif CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira mengkritisi Pasal 205 RUU PPSK yang berbunyi “Pihak yang menyelenggarakan ITSK wajib menyampaikan data dan informasi ke Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.”

Menurutnya, pasal tersebut perlu menambahkan peran Bappebti yang selama ini telah menangani aset kripto di Indonesia. Dia berpendapat bahwa hilangnya kendali Bappebti terhadap aset kripto dengan adanya perpindahan wewenang ini akan dapat menghambat pengembangan aset kripto di Indonesia.

“Bappebti sudah memiliki peraturan sebagai payung hukum bursa berjangka aset kripto, maka RUU PPSK idealnya disinkronkan dengan pengaturan di dalam Perba 8/2021 karena sama-sama bicara soal aturan aset kripto. Jangan ada dualisme antara Bappebti dengan otoritas lainnya, karena bisa menghambat pengembangan aset kripto,” katanya pada Diskusi Publik bertajuk ‘Arah Pengaturan Aset Kripto yang Ideal di Indonesia’, di Hotel Ashley Tanah Abang, Jakarta, Rabu (2/11/2022).

Hal ini juga dipertegas oleh Ketua Aspakrindo Teguh Hermanda yang menyampaikan bahwa jika BI dan OJK masuk sebagai pengawas di dalam proses ini, maka ini akan menimbulkan kerancuan.

“Jika memang ada aturan ini, harus menjadi pertanyaan kembali apakah kripto itu menjadi komoditi, atau efek atau currency?,” ungkapnya.

Oleh karena itu, baik Bhima maupun Teguh berharap pemerintah merevisi pasal 205 RUU PPSK dengan memasukkan peranan Bappebti di dalamnya sehingga menyempurnakan aturan tersebut.

“Kami juga punya sebuah keyakinan seandainya Bappebti tetap ada di pasal ITSK, kami berpikir itu akan menjadi kesempurnaan dalam aturan PPSK,” kata Teguh.

Dia memandang, dalam RUU PPSK ini, pihak yang akan menaungi kripto diharapkan Bappebti yang memang sejak awal menjadi regulatornya.

Menanggapi hal ini, Plt Kepala Bappebti Didid Noordiatmoko mengatakan peralihan wewenang ini bukan dikarenakan ketidakmampuan Bappebti mengurus aset kripto selama ini.

“Kalau narasinya seolah-olah Bappebti nggak mampu, saya menjawab bukan itu, apakah Bappebti itu kompeten? Kami tidak sempurna tapi kami sudah mencoba dan sudah berhasil mengawal perdagangan aset kripto ini dengan baik,” paparnya.

Menurutnya, keberhasilan ini ditunjukan dengan meningkatnya jumlah pelanggan aset kripto per akhir Oktober sekitar 16,1 juta pelanggan. Jumlah ini meningkat hampir 2 kali dari bursa efek.

Didid mengatakan perpindahan ini tidak akan dilakukan secara tiba-tiba, namun ada proses harmonisasi yang direncanakan akan berlangsung selama 5 tahun.

“Keputusan pemerintah adalah memang pengelolaan kripto akan dipindahkan ke OJK namun ini tidak akan seketika, tetap nanti ada masa peralihan, kami akan tetap membuat pengaturan-pengaturan tentang tata kelola aset kripto,” terangnya.

Dia menerangkan bahwa saat ini pemerintah tengah melakukan revisi Peraturan Bappebti No.8/2021 untuk memperbaiki tata kelolanya.

“Yang sekarang sedang coba kami lakukan adalah revisi Perba 8, intinya adalah kami ingin memperbaiki tata kelolanya, kami akan tetap memperbaiki tata kelola dalam masa transisi ini, harapannya 5 tahun dan akan diatur dalam peraturan pemerintah,” ujarnya.