KABAREKONOMI.ID – Bank Indonesia (BI) memandang tekanan terhadap nilai tukar rupiah masih begitu besar ke depan. Hal ini terjadi seiring dengan agresivitas Bank Sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga acuan meredam inflasi sehingga memicu penguatan dolar AS.
“Dolar Amerika Serikat menguat hampir terhadap seluruh mata uang, baik mata uang negara utama, maupun sebagian besar mata uang emerging market (pasar negara berkembang),” jelas Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Edi Susianto kepada CNBC Indonesia, Senin (1/11/2022).
Indeks dolar AS atau USDX, kata Edi terus menguat sejak April 2022 yang saat ini masih berada pada angka 97, kemudian terus meningkat hingga September dalam posisi 114,7, dan saat ini berada pada kisaran 110,89.
Ditambah saat ini, agresivitas kebijakan moneter, terutama The Fed dan bank sentral utama di Eropa juga masih akan aggressive menaikkan suku bunga acuan.
Pun, kata Edi yang sedang terjadi saat ini, para pelaku pasar atau investor tengah mencari safe haven alias tempat aman untuk menaruh dolarnya.
“Ini kenapa dolar Amerika mengalami penguatan, jadi bukan hanya rupiah yang melemah, tapi yang lainnya kalau boleh dibilang, hampir semuanya mengalami pelemahan,” jelas Edi.
Oleh karena itu, di tengah bank sentral negara maju, terutama The Fed yang diperkirakan akan aggressive menaikkan suku bunga acuannya, rupiah pun berpotensi masih akan terus melemah.
“Berpotensi (melemah) yes, ada potensi ke arah sana. Tapi peluang mata uang lainnya melemah pun berpotensi besar, karena sentimennya penguatan dolar AS. Ini yang perlu kita tekankan menurut hemat saya,” kata Edi lagi.
Lantas seperti apa daya tahan rupiah saat ini?
Edi menjelaskan, untuk melihat daya tahan rupiah bisa dilihat dari dua hal. Pertama dilihat bagaimana cadangan devisa Indonesia terkuras untuk melakukan intervensi, serta implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Edi menjelaskan, pengurangan cadangan devisa tanah air masih sedikit berkurang dibandingkan dengan negara peers di Asia Tenggara.
“Di Bulan September, penurunan cadangan devisa dilihat dari data, kita hanya menurun 1,07%. Sementara negara peers seperti Malaysia menurun 3,46%, Thailand 7,24%, Filipina 4,04%. Kita relatively penurunan cadangan devisa kita relatif terbatas,” jelas Edi.
BI melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir September 2022 mencapai US$ 130,8 miliar. Realisasi ini anjlok US$ 1,4 miliar dibandingkan posisi Agustus 2022 yang sebesar US$ 132,2 miliar.
Adapun persentase pelemahan pergerakan rupiah pada September dibandingkan negara tetangga lainnya, Indonesia masih relatif terbatas.
“Rupiah melemah hanya 2,53% di September, Malaysia Ringgit sekitar 3,5%, Filipina Peso 4,35%, Thailand Baht 3,36%. Bahkan Korea Won 6,5%,” jelas Edi lagi.
Di tengah situasi saat ini, Indonesia masih mendapat keberkahan dari hasil neraca perdagangan yang tercatat surplus.
Seperti diketahui, neraca perdagangan Indonesia pada September 2022 mencatatkan surplus sebesar US$ 4,99 miliar. Surplus neraca perdagangan ini sudah berlangsung 29 kali berturut-turut sejak Mei 2020.
Edi bilang, surplus neraca perdagangan yang masih kuat tersebut menolong atau dapat menahan rupiah saat ini.
Hal kedua yang juga menggambarkan daya tahan rupiah terlihat dari implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
“So far, bahwa PDB (Produk Domestik Bruto) di Kuartal II-2022 masih kuat 5,44%, eksternal balance masih positif masih sangat kuat. Juga PMI yang masih ekspansif,” jelas Edi.
Peningkatan produksi dan ekspansi permintaan domestik baru mendorong naiknya Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia di bulan September 2022. PMI Manufaktur di bulan tersebut tercatat sebesar 53,7, atau naik dari 51,7 di bulan Agustus lalu.
“Menurut saya, ini adalah salah satu indikator yang bisa kita lihat untuk daya tahan rupiah,” kata Edi lagi.