KABAREKONOMI.ID, – Di tengah melejitnya harga minyak dunia tahun ini, namun sayangnya ini tidak diikuti dengan lonjakan investasi di hulu minyak dan gas bumi (migas) di Tanah Air.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), realisasi investasi hulu migas hingga kuartal III 2022 baru mencapai US$ 7,7 miliar atau sebanyak 60% dari target tahun ini sejumlah US$ 13,2 miliar.
Lantas, apa yang membuat investor enggan untuk jor-joran mengeluarkan uangnya untuk berinvestasi di hulu migas RI?
Praktisi sektor hulu minyak dan gas bumi Tumbur Parlindungan menilai, iklim investasi di sektor hulu migas RI kini kurang menarik. Salah satunya karena dipicu isu kesucian kontrak atau contract sanctity.
Tumbur pun berharap agar Pemerintah Indonesia dapat menjaga kesucian kontrak yang telah disepakati bersama para investor untuk menjaga iklim investasi yang dari tahun ke tahun terus jeblok.
Menurut Tumbur, sampai saat ini beberapa investor menilai kesucian kontrak di sektor hulu migas RI merupakan salah satu ketidakpastian yang cukup besar. Kondisi tersebut lantas berdampak pada target-target yang sudah ditentukan sebelumnya.
“Terlalu sering adanya perubahan peraturan yang dampaknya terjadi perubahan perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya,” ungkap Tumbur kepada CNBC Indonesia, Kamis (3/11/2022).
Baca: Harga Minyak Masih Tinggi, Kok Investasi Hulu Migas Mini?
Selain itu, lanjutnya, belum rampungnya pembahasan Revisi Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) juga membuat kepastian hukum di sektor hulu migas juga semakin abu-abu. Akibatnya, investor masih akan tetap menahan investasinya hingga RI mempunyai kekuatan payung hukum tetap.
“Semakin lama disahkan (Revisi UU Migas), uncertainty juga semakin besar. Investors wait and see. Options ada di investors, mereka mau berinvestasi di Indonesia (dengan segala uncertainty) atau ke negara-negara lainnya yang lebih certain,” katanya.
Tumbur pun menilai ekosistem investasi di sektor hulu migas RI sudah tidak semenarik apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya, khususnya negara tetangga di Asia Tenggara seperti Malaysia, Brunei, dan beberapa negara ASEAN lainnya.
“Mungkin mereka lebih memprioritaskan ke negara-negara tersebut yang masih banyak International Oil and Gas Company (IOC) yang melakukan investasinya,” ujarnya.
Ia menyadari harga minyak mentah dunia saat ini sedang bagus-bagusnya dan seharusnya bisa berdampak pada aktivitas di sektor hulu migas, sehingga diharapkan dapat mendorong minat investasi.
Namun kondisi tersebut tak lantas membuat investasi melesat begitu saja. Pasalnya, untuk menggenjot aktivitas hulu, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain untuk mendapatkan material peralatan dan jasa penunjang migas.