Kemudian di saat masa akhir jabatan anggota DPR RI tahun 2009, bersama dengan Pemerintah Pusat, dibahas mengenai Undang-Undang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai payung hukum pembentukan KEK di kawasan Batam dan daerah lainnya di Indonesia.
Berbagai kemajuan telah banyak dicapai selama ini, seperti tersedianya berbagai lapangan usaha yang mampu menampung angkatan kerja yang berasal hampir dari seluruh daerah di tanah air. Begitu juga dengan jumlah penerimaan daerah maupun pusat dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal ini tidak lain karena semakin maraknya kegiatan industri, perdagangan, alih kapal, dan pariwisata.
Namun, sebagai daerah yang berkembang pesat, Batam juga tidak luput dari permasalahan. Mulai dari permasalahan perizinan yang sebelumnya dikeluhan para investor atau penanaman modal asing (PMA), hingga pengalokasi lahan kepada pihakn ketiga yang tidak dalam kondisi ‘Clear and Clean’ yang juga menjadi hal ‘menakutkan’ bagi para investor.
Bagaimana tidak, ketika investor melakukan usaha di Batam permasalahan kemudahan dalam perizinan hingga kondisi lahan yang aman dan nyaman tentunya menjadi salah satu poin penting dalam mereka beroperasi di Batam.
Fakta yang terbaru adalah, investor yang bergerak dalam industri galangan kapal bernama PT. Bintan Shipping Bioteknik mengeluhkan tidak keluarnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) lahan yang mereka tempati sejak 12 tahun lamanya lahan yang mereka tempati.
Padahal investor yang memiliki hak berusaha ini diatas lahan 6 hektar sudah melengkapi diri dengan kelengkapan administasi yang terbilang wajib untuk mendapatkan alokasi lahan telah dibayarkan perusahaan tersebut. Mulai dari pembayaran UWTO 30 tahun, terbitkan PL, SPJ dan fatwa planologi yang diperuntukan untuk industri perkapalan.
Hal ini pun memicu permasalahan baru, dimana investor yang akan mengikuti lelang atau tender dalam sebuah proyeknya tentunya mengalami kendala dalam hal legalitas lahan yang dimilikinya. Mengingat, sesuai aturannya, ketika mengajukan sebuah tender di pemerintahan tentunya harus memililiki keabsahan atau legalitas lahan yang ditempati oleh investor.
Masalah lain yang muncul adalah, adanya surat pada September 2022 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia yang mengatakan bahwa lahan yang saat ini ditempati oleh PT. Bintan Shipping Bioteknik, 4 hektar dari total 6 hektar merupakan kawasan hutan lindung. Padahal alokasi lahan yang diterima oleh Investor ini berasal dari BP Batam. Sehingga sangat meresahkan dan mengganggu iklim investasi di Batam.