kabarekonomi.id– Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Selasa (1/11/2022), jelang pengumuman kebijakan suku bunga terbaru bank sentral Amerika Serikat (AS).
Mayoritas investor memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Hanya SBN tenor 30 tahun yang masih cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 30 tahun naik 1,5 basis poin (bp) ke posisi 7,555% pada perdagangan awal November 2022.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara merosot 10,9 bp menjadi 7,418%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data inflasi Oktober 2022 yang berada di 5,71% secara tahunan (year-on-year/yoy), melandai ketimbang bulan sebelumnya di 5,95%.
Posisi tersebut lebih rendah dari konsensus analis yang dihimpun CNBC Indonesia terhadap 12 institusi yakni di 5,95%.
Adapun inflasi bulanan Oktober jauh lebih kecil dibandingkan yang tercatat pada September yakni 1,17% (month-to-month/mtm).
Diketahui, ada beberapa kali penyesuaian harga energi pada beberapa waktu terakhir. Antara lain kenaikan Pertamax, Pertalite dan Solar pada awal September 2022. Kemudian 1 Oktober 2022, harga Pertamax diturunkan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) BPS, Setianto mengatakan bahwa penyumbang inflasi tertinggi masih dipicu oleh bensin, tarif angkutan dalam kota, solar dan tarif antara kota dan rumah tangga.
Sebelum perilisan inflasi Oktober, data PMI Manufaktur periode Oktober juga telah dirilis pada hari ini. S&P Global melaporkan PMI Manufaktur RI pada bulan lalu turun menjadi 51,8 dari posisi pada bulan sebelumnya di 53,7. Meski melandai, tapi PMI Manufaktur masih ekspansif karena berada di atas batas acuan di 50, sedangkan di bawahnya menunjukkan kontraksi.
Pertumbuhan permintaan keseluruhan yang berkelanjutan di sektor manufaktur Indonesia mendorong peningkatan produksi manufaktur di Oktober. Tingkat pertumbuhan pesanan baru dan output menurun dari bulan sebelumnya tapi tetap solid.
Di sisi lain, permintaan asing untuk barang-barang manufaktur Indonesia turun, tampaknya disebabkan oleh kondisi ekonomi global yang lebih lemah.
Tingkat kepercayaan pelaku bisnis menguat ke level tertinggi selama tujuh bulan, terkait dengan harapan bahwa penjualan akan membaik dengan kondisi ekonomi yang lebih baik ke depannya.
Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) berbalik melandai pada pagi hari ini waktu AS, jelang pengumuman kebijakan suku bunga terbaru bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun melandai 7,2 bp menjadi 4,429%. Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun merosot 13 bp menjadi 3,947%.
Para pelaku pasar global masih menantikan rilis keputusan suku bunga terbaru The Fed pada 3 November dini hari waktu Indonesia.
Melansir FedWatch, sebanyak 87,2% analis memprediksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan 75 bp dan mengirim tingkat suku bunga ke 3,75%-4%. Sementara 12,8% memproyeksikan kenaikan 50 bp.
Tetapi pelaku pasar akan melihat apakah The Fed setelahnya akan menghentikan sementara kenaikan suku bunganya, atau menurunkan agresivitasnya.
Beberapa pejabat The Fed juga sudah mengungkapkan keinginan untuk mengendurkan laju kenaikan suku bunga. Sebabnya, ada risiko perekonomian AS akan kembali mengalami double dip recession.
Kontraksi produk domestik bruto (PDB) dalam 2 kuartal sebelumnya secara teknis sudah disebut resesi. Namun, resesi AS di awal tahun ini ringan, bahkan mungkin belum terasa sebab pasar tenaga kerja AS masih sangat kuat, tetapi yang parah akan datang.
Kemudian, pada kuartal III-2022, PBB AS mampu tumbuh sehingga lepas dari resesi. Tetapi, risiko kembali mengalaminya, bahkan lebih parah alias double dip recession sangat besar jika suku bunga terus dinaikkan dengan agresif.
Harapan The Fed akan mengendurkan laju kenaikan suku bunga tersebut menjadi salah satu pemicu Wall Street mampu melesat di Oktober.