KABAREKONOMI.ID, Batam – Harga minyak mentah bervariasi pada akhir sesi perdagangan pada Kamis (20/10), waktu Amerika Serikat (AS).
Fluktuasi harga dipengaruhi oleh kekhawatiran pelaku pasar terhadap inflasi yang mengurangi permintaan minyak. Di sisi lain, China juga dikabarkan tengah mempertimbangkan untuk melonggarkan kebijakan karantina covid-19 bagi pengunjung.
Dilansir Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember turun 3 sen atau 0,03 persen ke US$92,38 per barel di London ICE Futures Exchange.
Kemudian, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November naik 43 sen atau 0,5 persen menjadi US$85,98 per barel di New York Mercantile Exchange.
Sehari sebelumnya, harga minyak mentah WTI dan Brent masing-masing menanjak 3,3 persen dan 2,6 persen usai AS mencatat penurunan persediaan minyak mentah.
Bank Sentral AS The Federal Reserve berusaha memperlambat ekonomi dan terus menaikkan target suku bunga jangka pendeknya demi melawan inflasi.
Kondisi itu akan memperkuat indeks dolar dan berpotensi mengerem permintaan terhadap minyak.
Pasalnya, dolar yang lebih kuat mengurangi permintaan minyak lantaran harga bahan bakar lebih mahal bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.
“Harker (Presiden Federal Reserve Bank of Philadelphia Patrick Harker), mengatakan bahwa perang terhadap inflasi baru saja dimulai,” ujar Analis Price Futures Group Phil Flynn di Chicago.
Namun, harga mendapat dorongan usai Bloomberg mengabarkan Beijing tengah mempertimbangkan untuk memotong periode karantina bagi pengunjung dari 10 hari menjadi tujuh hari.
“Itu dilihat sebagai indikator permintaan positif untuk pasar,” terang Direktur Energi Berjangka Mizuho Bob Yawger di New York.
Harga minyak juga masih ditopang oleh larangan Uni Eropa terhadap impor minyak mentah dan produk minyak Rusia, serta pengurangan produksi dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan sekutunya termasuk Rusia, yang dikenal sebagai OPEC+.
Pada awal Oktober lalu, OPEC+ menyepakati pengurangan produksi 2 juta barel per hari.
Secara terpisah, Presiden AS Joe Biden mengumumkan rencana untuk menjual sisa pelepasannya dari Cadangan Minyak Strategis (SPR) negara itu pada akhir tahun, atau 15 juta barel minyak.
Nantinya, AS mulai mengisi kembali persediaan saat ia mencoba untuk meredam tingginya harga bensin menjelang pemilihan paruh waktu pada 8 November.
Kendati demikian, pengumuman tersebut gagal menurunkan harga minyak. Pasalnya, data resmi AS menunjukkan bahwa SPR pekan lalu turun ke level terendah sejak pertengahan 1984.
(**)