KABAREKONOMI.ID, Batam – Perjungan penambahan cuti hamil dalam Rancangan Undang Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA) mendapatkan pro dan kontra dari beberapa pihak.
Salah satunya dari Ketua DPR RI, Puan Maharani yang kini tengah memperjuangkan RUU KIA tersebut. Untuk itu, Puan Maharani pun meminta dukungan kepada ibu-ibu hamil dan ibu siap hamil terkait RUU KIA tersebut.
“Dalam RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak, nantinya ibu melahirkan cutinya InsyAllah dari tiga bulan tambah jadi enam bulan,” kata Puan saat membuka acara Gebyar Inovasi Pelayanan Kesehatan Rakyat, di Sekolah PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta, Sabtu (18/6/2022).
Wanita yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Bidang Politik PDIP itu mengungkapkan, DPR akan membahas terkait teknis penambahan cuti setelah melahirkan bersama pemerintah.
Puan juga mengungkap adanya kemungkinan WFH untuk 3 bulan setelah cuti melahirkan. Menurut Puan Maharani, hal itu sangat penting untuk membangun ikatan antara ibu dan anak.
“Nanti tiga bulan selanjutnya apakah nanti work from home (WFH), karena sekarang ada bekerja dari rumah tapi tetap bersama bayinya ini penting sehingga kedekatan antara ibu dan anak bisa lebih dekat,” terangnya.
Puan Maharani menjelaskan perlunya penambahan durasi cuti setelah melahirkan karena kedekatan ibu dan anak sangat penting terutama sesudah dilahirkan.
Memang, kata Puan, tiga bulan dirasa sudah cukup tapi kalau bisa enam bulan kenapa tidak. Oleh karena itu, Puan meminta dukungan agar RUU KIA bisa segera dibahas dan disahkan.
“Sebenarnya cuti 3 bulan itu udah cukup, tapi DPR ngusuli 6 bulan dan kalau bisa disetujui kenapa enggak dibuat RUU-nya. Jadi dukung ya (RUU KIA) itu semua ya terima kasih,” pesan Puan Maharani.
Sementara itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Batam bereaksi terkait rencana penambahan cuti hamil menjadi enam bulan.
Menurut Ketua APINDO Batam, Rafki Rasyid khawatir jika aturan ini akan berdampak pada iklim investasi. Khususnya di Kota Batam.
Selain itu, tambahnya, implikasi dari aturan tersebut juga dapat dirasakan berdampak diskriminasi pada para perempuan pekerja ataupun perempuan calon pekerja.
Sebab, hal ini akan berpengaruh pada pertimbangan bagi masing-masing perusahaan untuk merekrut tenaga kerja perempuan.
Menurutnya, aturan ini seolah-olah melompati peraturan dalam Undang-undang (UU) yang sudah ada. Yakni UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja beserta turunannya.
Berdasarkan UU 13/2003, pekerja perempuan yang hamil mendapat jatah cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Atau secara akumulatif durasinya mencapai tiga bulan saja.
“Cuti melahirkan enam bulan itu kemungkinan besar bisa mengganggu produktivitas pekerja wanita di perusahaan. Jadi, aturan ini bisa merugikan baik bagi para perempuan pencari kerja maupun bagi investasi yang masih sangat dibutuhkan,” sebut Rafki Rasyid, Senin (20/6/2022).
Pihaknya juga menyoroti, kemungkinan apabila perempuan pekerja terlalu lama mengambil cuti hamil, justru akan berdampak negatif bagi pekerja itu sendiri. Contohnya seperti tingkat stres meningkat.
Kemungkinan tersebut menjadi kontraproduktif dengan tujuan awal yakni untuk menguatkan ketahanan keluarga.
“Kalau rancangan undang-undang (RUU) ini mau mengatur tentang ketahanan keluarga, maka fokus ke permasalahan keluarga saja. Tidak perlu loncat pagar sampai mengatur aktivitas pekerja di perusahaan yang sudah ada UU tersendiri,” ujarnya.
Ia mengaku paham akan maksud dari DPR RI mengusulkan aturan cuti hamil enam bulan ini sebagai aturan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak Indonesia, serta menjaga ketahanan keluarga.
Namun menurutnya, aturan ini perlu dikaji ulang agar tidak tumpang tindih dengan aturan yang sudah ada sebelumnya.
Pihaknya mendorong para legislator untuk mengadakan pengkajian secara komprehensif dan komparatif dengan aturan di negara lain.
Aturan ini, apabila dijalankan, akan berdampak pula pada pengusaha. Perusahaan asing yang tidak menyetujui aturan tersebut berpotensi memindahkan investasinya ke negara lain.(ilh)