KABAREKONOMI.ID, JAKARTA – Kurs rupiah kembali terlibas oleh dolar Amerika Serikat (AS) hingga pada pertengahan perdagangan Selasa (11/10/2022), tertekan oleh keperkasaan dolar AS di pasar spot yang bergerak di sekitar rekor tertingginya selama dua dekade.
Mengacu pada data Refinitiv, rupiah terkoreksi pada pembukaan perdagangan sebanyak 0,1% ke Rp 15.325/US$. Sayangnya, rupiah melanjutkan koreksinya lebih dalam sebanyak 0,33% ke Rp 15.360/US$ pada pukul 11:00 WIB. Posisi tersebut menjadi yang terendah sejak 23 April 2020.
Terkoreksinya Mata Uang Garuda dipicu oleh penguatan indeks dolar AS di pasar spot. Pukul 11:00 WIB, indeks dolar AS yang mengukur kinerja si greenback terhadap enam mata uang dunia lainnya kembali menguat 0,18% ke posisi 113,34. Kini, indeks dolar AS berada kian dekat dengan rekork tertinggi dua dekadenya di 114,7.
Keperkasaan dolar AS ditopang oleh statusnya yang menjadi mata uang safe haven ketika situasi ekonomi kian tidak pasti.
Ekonom terkemuka dan mantan ketua Morgan Stanley Asia, Stephen Roach mengatakan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mungkin perlu menaikkan suku bunga hingga 6% untuk memerangi inflasi yang meninggi dan ekonomi AS pasti akan jatuh ke dalam resesi tahun depan.
“Inflasi AS memuncak pada bulan Maret tetapi akan memakan waktu lebih lama dari yang diperkirakan untuk turun kembali, sehingga suku bunga kebijakan mungkin perlu dinaikkan menjadi 5-6% untuk mengembalikan inflasi ke level 2%, kata Roach dalam sebuah wawancara dengan China Finance 40 Forum dikutip Reuters.
“Ekonomi AS mengalami kontraksi sebesar 0,6% pada kuartal kedua setelah turun 1,6% pada kuartal pertama. Tetapi Amerika mungkin menuju resesi tahun depan karena The Fed akan menaikkan suku bunga beberapa kali sebelum mencapai tingkat yang membatasi,” tambahnya.
Roach juga meyakini bahwa permintaan akan dolar AS akan tetap kuat dan membuat mata uang lainnya terdepresiasi. Senada, analis lembaga keuangan lainnya juga berpendapat serupa.
“Ekspektasi kami untuk ekonomi dunia memasuki resesi tahun depan konsisten dengan kenaikan lebih lanjut dalam dolar,” kata ahli strategi Commonwealth Bank of Australia Carol Kong.
Pekan ini, investor global perlu mencermati rilis data inflasi AS per September 2022 yang akan dirilis pada Kamis 13 Oktober 2022 waktu Indonesia. Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa angka inflasi AS akan melandai ke 8,1% dari 8,3% pada bulan Agustus 2022. Rilis data ekonomi tersebut akan memberikan cerminan situasi mengenai apakah inflasi melandai setelah Fed agresif menaikkan suku bunga acuannya.
Beralih ke Tanah Air, Bank Indonesia (BI) memperkirakan penjualan eceran pada September 2022 akan menurun, hal tersebut tercermin dari hasil survei Penjualan Eceran BI pada Indeks Penjualan Riil (IPR) yang turun 0,9% secara bulanan.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono dalam laporannya menilai bahwa penurunan tersebut didorong oleh penurunan penjualan beberapa kelompok seperti kelompok suku cadang dan aksesori, bahan bakar kendaraan bermotor, serta makanan, minuman dan tembakau.
Secara rinci, IPR kelompok suku cadang dan aksesori terpantau turun 12,7% jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sedangkan kelompok bahan bakar kendaraan bermotor turun 8,6% secara bulanan, serta makanan, minuman dan tembakau turun 0,5% secara bulanan.
Meski begitu, secara bulanan, IPR pada bulan September 2022 masih tumbuh 5,5% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Perbaikan pertumbuhan penjualan eceran ini terjadi karena adanya pertumbuhan kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang sebesar 8,2% secara tahunan. Selain itu, meski ada kelompok yang mengalami penurunan pertumbuhan, tetapi penurunannya lebih landai dari bulan sebelumnya.
“Seperti kelompok perlengkapan rumah tangga lainnya terkoreksi 1,6% YoY dan peralatan informasi dan komunikasi terkoreksi 20,1% yoy,” tutur Erwin.
Keperkasaan indeks dolar AS, nyatanya masih menjadi ganjalan laju mata uang di Asia. Namun, rupee India berhasil menguat tipis 0,01% terhadap dolar AS dan menjadi satu-satunya mata uang di Asia yang terapresiasi.
Rupiah juga bukan yang terburuk di Asia. Baht Thailand dan yuan China terkoreksi paling tajam masing-masing sebesar 0,55% dan 0,52% terhadap si greenback.
(**)