Karena Tapera adalah Tabungan sosial, maka dalam jangka waktu 10 tahun sampai 20 tahun ke depan, uang yang terkumpul adalah Rp 12.600.000 hingga Rp 25.200.000.
“Pertanyaan besarnya adalah, apakah dalam 10 tahun kedepan ada harga rumah yang seharga Rp12,6 juta hingga Rp25,2 juta dalam 20 tahun ke depan? Sekali pun ditambahkan keuntungan usaha dari Tabungan sosial Tapera tersebut, uang yang terkumpul tidak akan mungkin bisa digunakan buruh untuk memiliki rumah,” terangnya.
Jadi dengan iuran 3 persen yang bertujuan agar buruh memiliki rumah adalah kemustahilan belaka bagi buruh dan peserta Tapera untuk memiliki rumah.

“Sudahlah membebani potongan upah buruh setiap bulan, di masa pensiun atau saat PHK juga tidak bisa memiliki rumah,” tegasnya.
Kedua, mengapa Tapera membebani buruh dan rakyat saat ini adalah, dalam lima tahun terakhir ini upah riil buruh (daya beli buruh,red) turun 30 persen. Hal ini akibat upah tidak naik hampir 3 tahun berturut-turu dan tahun ini naik upahnya murah sekali. Bila dipotong lagi 3 persen untuk Tapera, tentu beban hidup buruh semakin berat, apalagi potongan iuran untuk buruh lima kali lipat dari potongan iuran pengusaha.
Ketiga, dalam UUD 1945 tanggungjawab pemerintah adalah menyiapkan dan menyedikan rumah untuk rakyat yg murah, sebagaimana program jaminan Kesehatan dan ketersediaan pangan yang murah.
Tetapi dlm program Tapera, pemerintah tdak membayar iuran sama sekali, hanya sebagai pengumpul dari iuran rakyat dan buruh. Hal ini tidak adil karena ketersediaan rumah adalah tanggung jawab negara dan menjadi hak rakyat. Bukan malah buruh disuruh bayar 2,5% dan pengusaha membayar 0,5%.
“Tapera membebani buruh dan rakyat. Program Tapera tidak tepat dijalankan sekarang sepanjang tidak ada kontribusi iuran dari pemerintah sebagaimana program penerima bantuan iuran dalam program Jaminan Kesehatan,” tegasnya.
“Untuk itu, Kami menolak program Tapera dijalankan saat ini karena akan semakin memberatkan kondisi ekonomi buruh, rakyat san Peserta Tapera,” tambahnya. (iman)