Home » OPINI: Disrupsi Masyarakat Terhadap Pemberitaan Media di Pandemi Covid-19

OPINI: Disrupsi Masyarakat Terhadap Pemberitaan Media di Pandemi Covid-19

by bahar

Pasca-mewabahnya Covid-19 yang pertama kali terpantau di Wuhan China, para jurnalis di seluruh dunia khususnya di Indonesia tetap konsisten untuk melaporkan dampak bahaya yang ditimbulkan oleh Coronavirus Disease 2019 yang sangat cepat.

Bahkan ketika hampir seluruh negara di dunia dan seluruh daerah di Indonesia ditutup, banyak masyarakat yang masih tidak percaya bahwa virus corona merupakan masalah besar.

“Saya tidak percaya Covid-19, di daerah saya tak ada yang terkena (menjadi korban,red),” ungkap salah satu warga Pamekasan Madura sebagaimana dilansir BBC News Indonesia pada 17 Juni 2021 lalu.

IDNTimes dan IDNNews.id serta beberapa media online lainnya juga secara konsisten mendokumentasikan penyebaran virus di seluruh dunia, tetapi memang apatisme masyarakat yang belum percaya 100 persen terjadi karena adanya beberapa paparan berita hoaks yang ditulis oleh orang yang tidak bertanggungjawab.

Virus corona juga telah menjadi berita utama di berita televisi, dan dengan diterapkannya ‘physical distancing’ atau pembatasan jarak manusia secara fisik dan kerap dikenal dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Dimana ini merupakan kebijakan Pemerintah Indonesia sejak awal tahun 2021 untuk menangani pandemi Covid-19.

Namun, sebagian besar masyarakat tidak siap dan tak mendapatkan informasi yang cukup tentang pandemi yang telah diperingatkan para jurnalis selama berbulan-bulan, yang sekarang menimpa kita semua.

Mengapa demikian? Sebagai seseorang yang meneliti hubungan antara jurnalisme dan publik. Saya telah mengamati konsensus yang berkembang seputar: Orang-orang tidak mempercayai apa yang mereka baca dan dengar.

Penyebab krisis kredibilitas jurnalisme

Kepercayaan publik terhadap jurnalisme telah menjadi masalah bagi industri berita selama beberapa dekade. Jurnalisme membanggakan tingkat kepercayaan publik tertinggi sebelum WHO mengabarkan Covid-19 Desease ini.

Masyarakat melaporkan bahwa mereka memercayai media berita yang “banyak” atau “cukup.” Kredibilitas jurnalisme telah lama merosot, dengan media massa sekarang hanya dipercaya oleh hanya 41 persen pembaca.

Hal ini berarti bahwa, lebih dari setengah warga negara memiliki sedikit atau tidak percaya pada berita yang mereka baca dan dengar.

Beberapa pengkaji industri media telah mengidentifikasi sejumlah alasan mengapa kredibilitas jurnalisme sangat rendah. Salah satunya adalah adanya ‘miss information’ yang terkadang membanjiri platform media sosial dan berisiko menggabungkan berita nyata dengan berita palsu di benak publik.

Adanya faktor politik juga menjadi alasan. Para pemimpin politik sering menyebut berita dan penerbit sebagai ‘hoax’, dan publik sendiri semakin mengukur kualitas berita melalui lensa ideologis politik.

Kini, ada kelompok peneliti yang berkembang yang berfokus pada pemahaman “ekosistem media sayap kanan,” yang mencakup sumber “berita” yang menerbitkan klaim menyesatkan atau salah sementara juga mengabaikan lebih banyak sumber berita utama.

Akhirnya, beberapa peneliti percaya bahwa industri berita itu sendiri yang harus disalahkan atas krisis kredibilitasnya.

Hubungan antara kepercayaan dan loyalitas pembaca berita

Masalah kredibilitas ini terlihat sekali dalam penerimaan berita virus corona. Sebuah survei baru-baru ini menemukan bahwa jurnalis adalah juru bicara yang paling tidak dipercaya tentang virus tersebut.

Masyarakat lebih percaya pemaparan dari tenaga kesehatan dan orang – orang yang banyak terlibat di bidang kesehatan itu sendiri. Mereka sulit mempercayai berita yang di publish jurnalis meskipun isi berita didapatkan dari sumber terpercaya.

Saya juga menemukan bahwa orang yang memercayai satu jenis berita menggunakan jenis berita lainnya lebih sedikit. Misalnya, orang dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi pada berita televisi lebih jarang membaca koran.

Saya menyimpulkan bahwa orang tidak menganggap “media berita” sebagai satu hal homogen yang mereka percayai atau tidak percayai.

Mereka mengakui bahwa berita terdiri dari berbagai sumber, dan mereka membedakan antara sumber berita yang mereka percayai dan yang tidak.

Tapi apa yang membuat orang lebih cenderung melihat platform berita tertentu sebagai kredibel, dan mana yang cenderung melakukan sebaliknya atau tidak kredibel?

Bagaimana meningkatkan kepercayaan dalam jurnalisme

Sulit untuk mengetahui apa tepatnya yang membuat orang cenderung melihat jurnalis dan berita yang mereka publish mewakili platform media yang kredibel.

Akibatnya, sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya harus dilakukan jurnalis untuk memecahkan masalah kredibilitas yang mereka hadapi dengan pembacanya.

Itu berarti orang mencoba berbagai pendekatan untuk meningkatkan kredibilitas.

Beberapa jurnalis dan peneliti jurnalisme, misalnya, telah menganut gagasan bahwa berita akan dipandang lebih dapat dipercaya ketika jurnalis menunjukkan cara kerjanya, misalnya, memasukkan informasi dalam cerita mereka yang menggambarkan proses pelaporan itu sendiri.

Misalnya, IDNTimes telah menerbitkan serangkaian berita berjudul “Bagaimana menjadi seorang jurnalis”, yang dimaksudkan untuk “membantu memberi tahu pemirsa tentang apa yang dilakukan wartawan.” Jadi publik pun mengerti bahwa berita yang ditulis dan dipublish itu real.

Ketika organisasi berita berupaya meningkatkan kepercayaan publik di tengah wabah virus corona, saya yakin ide ini dan lainnya patut dicoba – seperti keterlibatan yang lebih eksplisit dengan audiens mereka, dan lebih banyak upaya untuk membuat demografi ruang redaksi mereka mencerminkan demografi pembaca mereka.

Memiliki informasi yang dapat diverifikasi yang dipercaya orang sangat penting, terutama dalam krisis. Metode-metode ini – dan lainnya – mungkin dapat memulihkan tingkat kepercayaan yang kurang dari berita tersebut, bahkan ketika informasinya sulit dipercaya.

  • Tarina Catur, Mahasiswi Pascasarjana Universitas International Batam –