KABAREKONOMI.ID – Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) masih akan terus mengerek suku bunga acuannya dengan agresif. Meski, pelambatan ekonomi yang berujung resesi akan terjadi.
Ketika perekonomian mengalami resesi, maka pemutusan hubungan kerja massal akan terjadi. Tetapi, hal itu tidak akan mengendurkan niat The Fed untuk terus menaikkan suku bunga, sebab stabilitas harga kini menjadi prioritas utama.
Hal tersebut diungkapkan Presiden The Fed wilayah Chicago, Charles Evans.
“Pada akhirnya, inflasi adalah hal yang paling penting untuk dikendalikan. Itu adalah tugas utama. Stabilitas harga bisa menjadi landasan pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat di masa depan,” kata Evans, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (10/10/2022)
“Jika tingkat pengangguran naik itu disayangkan, jika kenaikannya besar maka akan menyulitkan. Tetapi stabilitas harga membuat masa depan lebih baik,” tambahnya.
Pernyataan tersebut lagi-lagi membuat pasar finansial global terpuruk. Bursa saham Amerika Serikat jeblok kembali merah, indeks Nasdaq yang paling parah merosot lebih dari 1% dan berada di level terendah dalam dua tahun terakhir.
Jebloknya kiblat bursa saham dunia tersebut tentunya bisa menyeret bursa Asia pada perdagangan Selasa (11/10/2022).
Tidak hanya saham, harga emas pun ikut merosot lebih dari 1,5% kemarin. Bahkan logam mulia sudah merosot dalam 4 hari beruntun dengan total lebih dari 3%.
Evans mengatakan ada konsensus yang kuat suku bunga akan berada di kisaran 4,5% pada Maret 2023, dan akan terus ditahan di level tersebut.
Artinya akan ada kenaikan sebesar 125 basis poin lagi dari level saat ini 3% – 3,25%.
Resesi di Amerika Serikat sepertinya sudah pasti akan terjadi. Maklum saja, suku bunga sangat tinggi akan menghambat ekspansi dunia usaha, begitu juga konsumsi rumah tangga.
CEO JPMorgan, Jamie Dimon, mengatakan Amerika Serikat bisa mengalami resesi dalam 6 bulan ke depan.
“Ini dalah sesuatu yang sangat, sangat serius, saya pikir akan membawa Amerika Serikat dan dunia – saya rasa Eropa sudah mengalami resesi – dan itu akan mendorong Amerika Serikat juga mengalami resesi dalam 6 sampai 9 bulan ke depan,” kata Dimon, sebagaimana dilansir CNBC International.
Dimon menambahkan, seberapa lama dan parah dampak resesi akan sulit diukur, sebab ada faktor perang Rusia-Ukraina yang membuat inflasi masih terus tinggi.
“Resesi bisa menjadi sangat ringan atau cukup berat, dan banyak hal tergantung dair perang saat ini. Jadi memperkirakannya akan sulit, bersiaplah,” ujar Dimon.
(**)