Home » RI Masih Butuh Asing Garap Harta Karun Ini

RI Masih Butuh Asing Garap Harta Karun Ini

by Tia

KABAREKONOMI.ID – Indonesia dinilai masih membutuhkan peran serta perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asing untuk menggarap dan mengoptimalkan “harta karun” di dalam negeri.
Praktisi hulu migas Tumbur Parlindungan mengatakan, keterlibatan perusahaan kakap global dalam menggarap sektor hulu migas RI masih cukup penting. Pasalnya, Indonesia masih mempunyai potensi migas yang cukup besar untuk dikembangkan lebih jauh.

Apalagi, Indonesia mempunyai target produksi 1 juta barel minyak per hari (bph) dan gas sebesar 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030. Tanpa adanya investor migas yang mau menanamkan modalnya, menurutnya cukup sulit untuk merealisasikan target tersebut.

“Target 1 juta barel itu kan maunya Indonesia, tapi bila tidak ada yang berinvestasi atau semakin berkurang investor-investor yang mau ke Indonesia di upstream oil and gas, target itu tidak akan pernah terjadi,” ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (3/11/2022).

Tumbur menilai Indonesia masih butuh investasi secara besar-besaran untuk di sektor hulu migas, baik untuk kebutuhan energi maupun guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun demikian, kurang menariknya iklim investasi hulu migas di Tanah Air sulit membuat perusahaan migas asing untuk menanamkan modalnya di negeri ini. Alih-alih, sejumlah perusahaan migas asing malah memilih menjual asetnya dan keluar dari Indonesia.

Menurut Tumbur, kondisi ini terjadi lantaran beberapa investor menilai kesucian kontrak di sektor hulu migas RI merupakan salah satu ketidakpastian yang cukup besar. Hal ini lantas berdampak pada target-target yang sudah ditentukan sebelumnya.

“Terlalu sering adanya perubahan peraturan yang dampaknya terjadi perubahan perjanjian yang sudah disepakati sebelumnya,” katanya.

Selain itu, belum rampungnya pembahasan Revisi Undang-Undang No.22 tahun 2001 tentang Migas (UU Migas) membuat kepastian hukum di sektor hulu migas juga semakin abu-abu. Dengan begitu, investor masih akan tetap menahan investasinya hingga RI mempunyai kekuatan payung hukum tetap.

“Revisi UU Migas juga ditunggu. Semakin lama disahkan (Revisi UU Migas), uncertainty juga semakin besar. Investors wait and see. Options ada di investors, mereka mau berinvestasi di Indonesia (dengan segala uncertainty) atau ke negara-negara lainnya yang lebih certain,” katanya.

Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), status hingga 31 Desember 2021, cadangan terbukti minyak RI tercatat mencapai 2,44 miliar barel dan gas sebesar 34,64 triliun kaki kubik (TCF).

Namun jumlah ini masih bisa bertambah karena masih banyak cekungan yang belum dieksplorasi maupun eksploitasi. Indonesia saat ini memiliki 128 cekungan migas.
Dari 128 cekungan itu di antaranya 20 cekungan sudah berproduksi, 27 lainnya telah ditemukan namun belum berproduksi dan 13 belum ditemukan, serta 68 cekungan lainnya belum dilakukan pengeboran.

Sejatinya, 128 cekungan migas tersebut untuk menambah produksi minyak di Tanah Air yang saat ini diklaim sedang memasuki masa sunset. Namun kebanyakan, di Indonesia sendiri temuan-temuan baru cadangan tersebut mengarah ke gas.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menilai dengan adanya 128 cekungan tersebut, maka prospek hulu migas Indonesia masih cukup menarik. Meski begitu ia mengakui bahwa tantangan saat ini terdapat pada tingkat keekonomian pengembangan lapangan migas.(**)