KABAREKONOMI.ID, Batam – Power Wheeling, sebuah konsep yang telah lama dikenal dalam struktur liberalisasi pasar ketenagalistrikan, kini menjadi sorotan tajam dalam perdebatan kebijakan energi Indonesia. Skema yang menciptakan mekanisme Mul/Buyer dan Mul/Seller (MBMS) ini memungkinkan pihak swasta dan negara untuk menjual energi listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir.
Power Wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling. Wholesale Wheeling terjadi keJka pembangkit listrik (baik milik swasta maupun negara) menjual energi listrik dalam jumlah besar ke perusahaan listrik atau konsumen di luar wilayah usahanya.
Sementara itu, Retail Wheeling memungkinkan pembangkit listrik menjual energi listrik langsung ke konsumen akhir di luar wilayah operasinya.
Kedua model ini menggunakan jaringan transmisi dan distribusi sebagai “jalan tol” dengan skema open access, di mana semua pembangkit listrik dapat menggunakannya dengan membayar “Toll Fee”. Saat ini konsep Power Wheeling masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) dengan skema sewa jaringan listrik dengan nama lain pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT).
Namun, penerapan _Power Wheeling_ dipandang dapat menimbulkan dampak negaif signifikan, baik dari segi keuangan, hukum, teknis, maupun ketahanan energi nasional. Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Dewan Perwakilan Pusat (DPP) Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) Abrar Ali menganalisis dampak _Power Wheeling_ berdasarkan berbagai perspekJf.
“Melalui skema sewa jaringan listrik dengan nama lain pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Bukan hanya berdasar pada kepentingan semata. Kita tetap menolak skema tersebut karena cacat secara hukum, konstitusi dan tidak berpihak pada ekonomi kerakyatan,” ungkap Abrar kepada media pada Kamis (12/9) di Kantor PLN Pusat.
Alasannya, ungkap Abrar, pertama, skema PBJT itu sangat bertentangan dengan konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan sektor strategis menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Dalam hal ini diwakili BUMN sebagai pengelola.
Jika skema tersebut diterapkan, otomatis penguasaan negara tidak terpenuhi karena sebagian beralih kepada swasta. Kedua, Putusan MK No. 36/2012 yang menyebut pengelola hajat hidup rakyat tersebut adalah BUMN/PLN, bukan swasta.
Ketiga, Putusan MK No. Putusan 001-021-022/PUU-I/2003, menyatakan bahwa kebijakan pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik dengan sistem unbundling (dalam UU No.20/2002) mereduksi makna dikuasai negara yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945.
Sehingga, sistem _unbundling_ yang berisi skema tersebut juga inkonstusional, dan harus ditolak. Keempat, Putusan MK No.111/PUU-XIII/2015 menyatakan usaha ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dan _unbundling_ bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
Dijelaskan, listrik sebagai _public utilities_ tidak bisa diserahkan ke mekanisme pasar bebas, karena para pihak mengambil keputusan berdasar pasokan dan permintaan. Hal yang sama juga bila ditinjau dari sisi aspek ekonomi dan sosial politik, skema tersebut sangat merugikan masyarakat.
“Pada Putusan MK No. 001-021-022/PUU-I/2003, menjelaskan dalam mekanisme pasar bebas yang diuntungkan adalah pemilik modal dan yang terjadi adalah kerugian sosial pada masyarakat. Hal ini dapat berarti negara tidak lagi memberikan proteksi kepada mayoritas rakyat yang hidup kekurangan secara ekonomi. Jelas skema tersebut sangat tidak Pancasilais,” ungkap Abrar.
Lebih lanjut Abrar menambahkan, penerapan skema PBJT tersebut jangan terlalu dipaksakan, karena akan sangat merugikan negara dan masyarakat Indonesia sendiri. Kajian-kajian akan besarnya kerugian bagi pemerintah dan masyarakat atas dampak PBJT tersebut sudah banyak dilakukan. Namun pemerintah tidak pernah menggubrisnya.
Masih menurut Abrar, dalam membuat sebuah undang-undang, ada sejumlah aspek yang harus dilalui, yaitu, perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Proses pembentukan UU EBET juga harus mengikuti tahapan ini dengan memuat azas-azas keterbukaan, demokrasi, akuntabilitas dan partisipasi publik, agar sesuai aturan hukum dan konstitusi.
“Seperti Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2). Dan yang terpenting, Pasal 96 UU No.12/2011 (berubah jadi UU 15/2019) ayat (1): Masyarakat berhak memberi masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan UU. Ayat (2): Untuk memudahkan memberikan masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat,” beber Abrar.
“Karena itu, baiknya soal pengesahan RUU EBET tersebut ditunda dulu sampai benar-benar meyakinkan memberikan manfaat bagi masyarakat. Jangan karena kepentingan sesaat atau suatu kelompok segala cara dihalalkan,” tandas Abrar.
Sejalan dengan itu, Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) SP PT PLN Batam, Toni Yuliansyah juga menyuarakan hal serupa. Menurutnya skema _Power Wheeling_ dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) dipandang sebagai upaya liberalisasi yang melanggar konstitusi, yang dapat mengurangi kontrol negara atas sektor strategis ini.
“Studi kasus di Filipina yang telah lebih dahulu menerapkan skema power wheeling dan privatisasi sektor ketenagalistrikan melalui Electric Power Industry Reform Act (Epira) pada tahun 2001. Pengalaman Filipina ini dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam merumuskan kebijakan _Power Wheeling_ Sejak penerapan skema _Power Wheeling_ di Filipina, harga listrik mengalami kenaikan sebesar 55%. Jika hal ini terjadi di Indonesia, masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah, akan menghadapi beban finansial yang berat, terutama jika harga listrik ditentukan berdasarkan mekanisme pasar,” tutup Toni.(***)