KABAREKONOMI.ID, TANJUNGPINANG – Tingginya harga komoditas cabai, memotivasi warga untuk berinovasi. Salah satunya dengan menanam secara langsung. Seperti yang dilakukan Savran Shadiq Alutsco, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dinas Perhubungan Pemko Tanjungpinang.
Alumni STPDN angkatan 14 ini tak segan bermandikan panas sinar matahari, bergumul dengan kotoran hewan (kohe) mengolah tanah bertanam cabai.
Dan itu sudah dilakukannya jauh sebelum Gubernur Provinsi Kepualauan Riau, Ansar Ahmad SE MM meminta ASN bertanam cabai. Untuk menekan angka inflasi di Kepri. Hal ini diawali Savran, dengan “menyekolahkan” alias menggadaikan SK pegawainya.
Kisah Savran berawal dari keinginan untuk membersihkan lahan milik keluarganya yang sudah lama terbengkalai. Lahan seluas 15.000 meter persegi yang terletak di kecamatan Toapaya, Kabupaten Bintan itu, dulunya memang pernah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Namun ketika itu, orang tuanya hanya mempersilakan warga mengolah lahan tersebut untuk ditanami sayuran atau tanaman palawija lainnya.
Intinya, daripada menjadi lahan tidur, orang tuanya mempersilakan siapa saja mengolah lahan tersebut. Pada tahun 2021 lalu, dia tergerak untuk sesekali mengunjungi lahan milik keluarganya itu.
Karena sebagai anak bungsu dari 6 bersaudara, hanya ia yang tinggal cukup dekat dari lokasi tanah pertanian keluarga itu.
Savran merasa, sepeninggal kedua orang tuanya lahan itu pasti terbengkalai. Benar saja, lahan keluarga tersebut telah berubah menjadi semak belukar.
Meski masih sedikit terlihat bekas-bekas pemanfaatan lahan dan pertanian sayur di tempat itu. Hatinya pun tergerak untuk membersihkan lahan tersebut.
Ditambah dorongan dan motivasi seorang sahabat Teguh Susanto, yang juga ASN Pemerintah Kota Tanjungpinang, ia tidak lagi sekadar membersihkan lahan.
Belajar dari YouTube
Meski tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang pertanian, dan belum memiliki pengalaman sama sekali. Namun, tekad Savran untuk menjadikan tanah warisan orang tuanya sebagai lahan pertanian tak terbendung lagi.
“Saat ini ilmu dan informasi apa saja bisa kita pelajari atau dapatkan dari internet. Tinggal kemauan saja, dan kebetulan saya memiliki tanah keluarga yang menurut saya sangat cocok dijadikan lahan pertanian,” kata Savran dalam bincang singkat dengan redaksi suarasiber.
Savran menambahkan, “Terus terang, saya belajar menanam kangkung dan cabai dari YouTube. Banyak kanal pertanian dan penyuluh pertanian yang bisa kita jadikan acuan.”
Memiliki tanah yang luas dan cocok untuk dijadikan lahan pertanian, tidak serta merta memudahkan niatnya berkebun. Karena sebagai ASN, ia tentu memiliki keterbatasan waktu.
Ia hanya memiliki kesempatan pada Sabtu dan Minggu saja. Itu pun, ucapnya, terkadang masih harus terganggu dengan urusan pekerjaan yang mendesak.
Ia harus menyiasati dengan mencari tenaga kerja yang bersedia bekerja di kebun.
Mencari orang yang mau bekerja di kebun, menurut Savran, juga tidak mudah. Dasar jodoh dan rezeki, ia menemukan seorang perantau dari Jawa Barat yang tidak memiliki pekerjaan dan butuh modal untuk pulang ke kampung halaman.
Perundingan upah cocok, Savran pelan-pelan mentransfer ilmu dari YouTube ke pekerjanya.
Beberapa bedengan yang berhasil dibuatnya bersama dengan seorang pekerja, ia tanami dengan kangkung. Lahan subur dengan sumber air yang tersedia cukup “mewah”, sempat membuat Savran beberapa kali panen.
Selain diberikan ke keluarga dan rekan kerja, ia menjual kangkung tersebut ke pengepul sekitar.
Tapi tak lama ia bertani kangkung, karena harga jualnya ketika itu sangat rendah tidak sesuai dengan jerih payah, dan biaya operasional yang harus dikeluarkannya.
Karena harga cabai di pasaran Tanjungpinang cukup tinggi, Savran tergerak untuk mulai menanam cabai merah.
Savran sadar, bertani cabai merah tidak bisa sambil main-main. Sekitar pertengahan tahun 2022, keseriusannya menekuni profesi tambahan sebagai petani bertambah-tambah.
Kepala Bocor
Savran harus menggadaikan SK untuk membeli mesin bajak kecil untuk membuat bedengan yang lebih banyak.
Membajak lahan hingga kepalanya sempat bocor terkena mesin, mengaduk dan membolak-balikkan kotoran hewan sebagai pupuk juga dilaluinya.
Keseriusannya bertani cabai merah, tidak semulus landasan pacu Bandara Hang Nadim, Batam. Ratusan bibit cabai yang disemainya, sempat hancur akibat terendam banjir dan hujan deras.
Tidak patah arang, kejadian tersebut justru membuat Savran semakin bersemangat. Dan berkat bimbingan dan pembinaan Bank Indonesia Kepri, pengetahuan Savran tentang bertani cabai merah semakin lengkap.
“Saat itu, hanya menanam cabai di 50 bedengan atau sekitar 2.500 meter persegi. Cabai yang sudah berhasil saya panen sampai 600 kilogram.
Tidak langsung panen dalam jumlah segitu. Pertama saya hanya panen 10 kilogram saja. Kemudian, alhamdulillah satu kali panen bisa 30 kilogram. Sudah balek modal Bang,” ujar Savran semringah.
Inflasi
Hasil pertanian cabai merah yang dari kebun Savran, bahkan berperan dalam pengendalian inflasi di Kota Tanjungpinang.
Cabai merah ala Savran, pernah beberapa kali dibeli oleh Dinas Pertanian Pangan dan Perikanan Kota Tanjungpinang untuk memenuhi kebutuhan kegiatan Gerakan Pangan Murah.
Dipengaruhi oleh keinginan Savran untuk membantu masyarakat Tanjungpinang, ia rela cabai merahnya dibeli untuk kemudian dijual lagi dengan harga di bawah harga pasar ketika itu.
Dengan pengetahuan dari YouTube dan pengalamannya secara langsung bertungkus lumus dengan tanah, kotoran hewan dan keringat bertanam cabai merah, Savran kini tengah mengolah lahan yang lebih luas.
Akhir Februari 2024 ini, ia tengah mengerjakan pembuatan 140 bedeng untuk ditanami 6.000 batang cabai merah.
Dengan kemampuan saat ini, ucap Savran, ia hanya mampu mengolah separuh dari total luas lahan pertanian keluarga itu.
Perjuangan yang dilalui Savran untuk bisa dikatakan sebagai petani cabai tidak mudah.
Pupuk
Meski tidak ingin menyampaikan keluh kesahnya, Savran ingin sedikit menyuarakan pesan dari para petani cabai lainnya.
Menurut Savran, sebenarnya mungkin banyak masyarakat yang ingin atau mampu bertani cabai merah dan sayur mayur lainnya.
Namun keinginan atau kemampuan tersebut sering kali harus dibenturkan dengan kurangnya jaminan harga pasar. Harga cabai merah, kata Savran, seolah ditentukan oleh pengepul dan pedagang.
Sedikit membocorkan keluhan petani, Savran mengatakan selisih harga beli cabai merah dari petani ke pengepul hingga sampai ke masyarakat kadang mencapai lebih dari Rp 30 ribu per kilogram.
“Ya kita memaklumi bahwa ada risiko penyusutan di tingkat pengepul, yang menjualnya lagi ke pengecer. Namun selisihnya cukup tinggi.
Padahal petani mengeluarkan biaya operasional cukup tinggi, terutama untuk pupuk. Tidak cukup dengan pupuk kandang saja.
Jika pemerintah mampu memberikan jaminan ke petani, atau mensubsidi harga pupuk saja, saya yakin masih banyak anak-anak muda yang juga ingin menjadi petanii cabai merah.
Prospeknya cukup bagus, namun tentu perlu mendapat sokongan dari pemerintah,” ungkap Savran.
Kini, tekadnya bertanam cabai semakin tebal menyusul permintaan Ansar Ahmad agar ASN ikut bertanam cabai. Untuk menekan angka inflasi. (*/get/suarasiber)