KABAREKONOMI.ID, Jakarta – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di terkoreksi pada penutupan perdagangan sesi I Selasa (11/10/2022) bersamaan dengan lesunya bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan semalam yang masih mengkhawatirkan kondisi ekonomi global. Sebelumnya IHSG sudah mencatat pelemahan dua hari beruntun.
Indeks Acuan Tanah Air dibuka melemah tipis 0,06% di posisi 6.989,99 dan ditutup di zona merah dengan koreksi 0,2% atau 14,23 poin, ke 6.980,16 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat turun 6,51 triliun dengan melibatkan lebih dari 15 miliar saham yang berpindah tangan 763 kali.
Sejak perdagangan dibuka, IHSG sudah berada di zona merah. Selang 8 menit saja, indeks terpantau jatuh 0,29% ke 6.974,06. Pukul 10:53 WIB IHSG terpantau memangkas perlemahan menjadi 0,11% ke 6.986.72 dan konsisten berada di zona merah hingga penutupan perdagangan.
Level tertinggi berada di 7.001,97 sesaat setelah perdagangan dibuka, sementara level terendah berada di 6.959,14 sekitar pukul 09:15 WIB. Mayoritas saham siang ini terpantau mengalami penurunan.
Statistik perdagangan mencatat ada 281 saham yang melemah dan 234 saham yang mengalami kenaikan dan sisanya sebanyak 165 saham stagnan.
Saham PT Bumi Respurces Tbk (BUMI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 889,7 miliar. Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 280,4 miliar dan saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) di posisi ketiga sebesar Rp 258,5 miliar.
Tiga bursa saham Amerika Serikat (AS) kembali berakhir di ambrol pada perdagangan awal pekan waktu New York. Dengan ini, Wall Street sudah ambles untuk empat hari perdagangan beruntun.
Indeks Dow Jones ditutup melandai 93,91 poin atau 0,32% ke posisi 29.202,88. Hal serupa terjadi pada indeks S&P 500 yang melemah 27,27 poin atau 0,75% ke 3.612,39. Nasdaq ambruk 1,04% atau 110,3 ke 10.542,1. Posisi penutupan Nasdaq adalah yang terendah sejak Juli 2020 atau dua tahun terakhir.
Abruknya bursa Wall Street dipicu oleh dua hal yakni ancaman resesi serta kebijakan Presiden AS Joe Biden terkait ekspor semikonduktor.
Sejumlah lembaga terus mengingatkan ancaman resesi di AS. Terakhir, adalah CEO JPMorgan Jamie Dimon. Dia memperkirakan AS akan jatuh ke jurang resesi dalam 6-9 bulan ke depan atau pada 2023.AS tidak hanya mengalami perlambatan ekonomi ringan tetapi mengarah ke kondisi yang serius.
Dimon menjelaskan lonjakan inflasi, dampak perang Rusia-Ukraina, serta tren kenaikan suku bunga akan memicu inflasi dalam skala yang luas.
“(Faktor-faktor) Ini sangat..sangat… sangat serius karena bisa menekan ekonomi dunia dan AS. Eropa akan resesi dan itu akan menekan AS ke dalam resesi dalam 6-9 bulan ke depan dari sekarang,” tutur Dimon, kepada CNBC International.
Pembatasan ekspor merupakan bagian dari upaya pemerintah AS untuk menghentikan China dari kemampuannya mengembangkan kemampuan semikonduktor buatan mereka sendiri.
Ambruknya bursa AS sejak Rabu pekan lalu juga mulai mengikis kepercayaan Oktober sebagai bulan”bear killer”.Dalam sejarah bursa AS bulan September identik dengan periode brutal karena bursa kerap tumbang pada bulan kesembilan. Pasar akan ada dalam kondisi”bearish”atau melemah pada bulan tersebut.
Ambruknya bursa Wall Street tentu saja akan menjadi perhatian besar pelaku pasar di bursa efek Indonesia. Semakin menguatnya isu resesi di AS dan global juga bisa membebani kinerja IHSG.
Dengan masih memburuknya kinerja bursa AS dan proyeksi ekonomi maka prospek ekonomi dalam negeri pun akan terimbas.
Proyeksi JPMorgan mengenai resesi AS yang sangat serius dan akan terjadi dalam 6-9 bulan ke depan bisa berdampak ke ekonomi Indonesia melalui jalur perdagangan dan pasar keuangan.
AS adalah tujuan eksportir terbesar kedua Indonesia setelah China. Perlambatan ekonomi di AS akan menekan ekspor yang pada akhirnya mengancam pertumbuhan.
Belum lagi dampak kebijakan The Fed yang akan berimbas ke pasar keuangan domestik. Ekonom Goldman Sach memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga empat kali lagi hingga akhir 2023.Bank sentral Negara Paman Sam kemudian akan menahan suku bunga di kisaran 4,25-4,50% hingga 2024.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) mengungkapkan kinerja penjualan eceran diprakirakan meningkat pada September 2022. Hal ini tercermin dari prakiraan Indeks Penjualan Riil (IPR) September 2022 sebesar 200,0, atau tumbuh 5,5% (yoy), lebih tinggi dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 4,9% (yoy).
Secara bulanan, BI mengemukakan pertumbuhan penjualan eceran diprakirakan mengalami kontraksi sebesar 0,9% (mtm), seiring dengan penurunan pada Kelompok Suku Cadang dan Aksesori, Kelompok Makanan, Minuman dan Tembakau serta Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
(**)