KABAREKONOMI.ID, Makassar – Adagium yang mengatakan, “Lebih baik melepaskan 1.000 orang bersalah daripada menahan atau memenjarakan satu orang tidak bersalah” ternyata masih saja terjadi di dunia peradilan di tanah air walau berseberangan dengan adagium tersebut.
Berbagai kasus salah tangkap hingga salah vonis masih terus terjadi. Ada yang mendekam di penjara bukan untuk menebus kesalahannya tetapi “ditahan” karena proses peradilan sesat.
Kasus kopi sianida dengan “tersangka” Jessica Wongso pada tahun 2016 silam masih terus meninggalkan tanda tanya. Jessica hingga kini terus menunggu datangnya keadilan mengingat kejelasan perkara ini masih “abu-abu”.
Jessica sudah mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjuan Kembali (PK) untuk menolak vonis pembunuhan terhadap Mirna Salihin yang diterimanya. Mahkamah Agung menolah PK yang diajukan Jessica.
Bisakah Jessica mengajukan PK ke duanya ? Dapatkah Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara periode 2008 – 2017 mengajukan PK ke duanya mengingat tuduhan gratifikasi yang disangkakannya tidak terbukti sama sekali di pengadilan?
Menyikapi fenomena tersebut, Nusakom Pratama Institute bekerjasama dengan Riksawan Institute menggelar diskusi publik dengan tema : “Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) Dalam Perspektif Keadilan dan Hak Asasi Manusia ?”
Dalam acara yang digelar di Gedung IPTEK Kampus Universitas Hasanudin, Tamanlarea, Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (25/6), dua narasumber yang dihadirkan, masing-masing Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H, DFM (Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin) dan Prof. Dr. Judhariksawan, S.H, M.H (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang juga Ketua Komisi Penyiaran Independen periode 2013-2016), mengupas tuntas kajian yuridis mengenai upaya hukum PK tersebut.
Menanggapi paparan dan narasi yang disampaikan oleh moderator Dr. Ari Junaedi, S.H., M.Si, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Aswanto, SH, MH, DFM mengakui persoalan pembatasan PK akan terus menjadi polemik sepanjang kepastian keadilan belum diterima oleh masyarakat pencari keadilan.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai “the guardian of human rights” adalah memastikan adanya jaminan terhadap perlindungan hak asasi di negara yang menganut supremasi hukum.
“Masyarakat sangat membutuhkan lembaga yang bisa memberikan perlindungan hukum sekaligus bisa memberikan keadilan hukum. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 34/PPU-XI/2013 untuk mempertegas bahwa pengajuan PK pada perkara pidana seharusnya tidak dibatasi. Memang dalam memutuskan suatu perkara, setiap hakim tidak saja harus mempertimbangkan perspektif keadilan dari sisi pelaku tetapi juga harus mengakomodir perspektif keadilan bagi korban. Namun yang harus diingat, negara telah menjadi wakil dari korban sehingga putusan hakim harus mempertibangkan banyak hal. Pengajuan PK boleh dilakukan berkali-kali sepanjang ada temuan bukti baru (novum) yang bisa saja saat hakim menolak PK yang pertama memang belum ditemukan novum atau novum muncul belakangan usai hakim menolak PK yang pertama,”jelas Prof Dr. Aswanto, SH, MH, DFM.
Sedangkan dalam pandangan Prof. Dr. Yudhariksawan, SH, MH, ada dua doktrin paradoks yang bisa dijadikan rujukan jika persoalan pengajuan PK didebatkan dengan beragam argumentasi.
Jika di ranah “finalitas” pengajuan PK harus bersandar kepada adanya kepastian hukum mengingat setiap perkara harus ada akhirnya atau azas litis finiri oportet.
Belum lagi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka terdapat asas yang bersifat universal yaitu asas res judicata pro veritate habetur yang artinya putusan hakim harus dianggap benar.
“Harus diakui jika kita merujuk dotrin falibitas, hakim adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan sehingga terhadap semua vonis yang dijatuhkan masih bisa dilakukan langkah korektif. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, dalam artikel 14 ayat 6 disebutkan menjadi hak setiap terpidana untuk medapatkan keadilan yang hakiki sehingga keputusan pengadilan tertinggi sekalipun bisa dilakukan langkah koreksi,”ungkap Prof.Dr Yudhariksawan, SH, MH.
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 dianggap Prof Aswanto memberikan peluang bagi para pencari keadilan untuk pengajuan PK lebih dari satu kali , asalkan berdasarkan novum baru yang selama ini ini tidak tergali atau belum ditemukan.
Bahkan Prof Yudhariksawan mempertegas, dengan novum yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi seperti test DNA, digital forensik serta criminal forensik semakin memperkuat pengajuan PK.
Moderator diskusi, Direktur Nusakom Pratama Institute yang juga pengamat komunikasi politik sekaligus alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Dr. Ari Junaedi, SH, M.Si sempat menyinggung banyaknya pencari keadilan gagal menggapai keadilan yang hakiki meski memiliki fakta baru (novum) lantaran harus kandas dengan aturan yang membelenggu. Termasuk di dalamnya ada unsur kepentingan politik dalam pembatasan upaya PK.
Belanda yang menjadi ‘kiblat’ hukum Indonesia, proses PK tidak dibatasi dengan catatan ditemukan novum atau bukti baru yang bisa diajukan dalam persidangan.
Komite Pembaharuan KUHP memandang pengajuan PK lebih dari satu kali merupakan langkah tepat karena sejalan dengan alasan keadilan dan perlindungan HAM.
“Menurut saya sebaiknya PK ini memang tidak perlu dibatasi dengan alasan setiap tersangka perlu mendapat keadilan seadil-adilnya. Catatannya adalah dibuat kriteria novum dalam perkara tersebut,” papar Dr. Ari Junaedi.
PK merupakan salah satu bagian dari upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada esensinya, PK merupakan sarana bagi terpidana atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan dan melindungi kepentingan terpidana.
Mengingat pentingnya PK sebagai upaya mencari keadilan bagi terpidana, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013, mempertegas bahwa pengajuan peninjauan kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya.
Melalui putusan ini, MK menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali saja tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. (*)