Home » Alert Buat IHSG, Mayoritas Bursa Asia Dibuka Melemah!

Alert Buat IHSG, Mayoritas Bursa Asia Dibuka Melemah!

by Tia

KABAREKONOMI.ID, – Bursa Asia-Pasifik dibuka cenderung melemah pada perdagangan Rabu (31/8/2022), menyusul bursa saham Amerika Serikat (AS) yang masih terkoreksi hingga perdagangan Selasa kemarin.

Indeks Nikkei Jepang dibuka merosot 0,95%, Hang Seng Hong Kong ambruk 1,87%, Shanghai Composite China melemah 0,37%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,32%, ASX 200 Australia terpangkas 0,78%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,71%.

Dari China, investor akan menanti rilis data aktivitas manufaktur yang tergambarkan pada Purchasing Manager’s Index (PMI) periode Agustus 2022 versi NBS.

Analis dalam survei Reuters memperkirakan PMI manufaktur China periode bulan ini akan berada di angka 49,2, dari sebelumnya di angka 49 pada bulan lalu.

Sementara itu dari Jepang, data produksi industri secara tak terduga naik 1% pada Juli, dari bulan sebelumnya sebesar 9,2%, menurut data resmi.

Data terbaru mengalahkan perkiraan kontraksi 0,5% yang diprediksi oleh analis polling Reuters, karena China melonggarkan pembatasan Covid-19.

Sementara itu, penjualan ritel periode Juli juga naik 2,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 1,5%.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah terjadi di tengah masih melemahnya bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Selasa kemarin.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup merosot 0,96% ke posisi 31.790,87, S&P 500 ambles 1,1% ke 3.986,16, dan Nasdaq Composite ambrol 1,12%, menjadi 11.883,14.

Penyebabnya Wall Street kembali ambles masih sama, yakni bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih akan agresif menaikkan suku bunga, menahanannya di level tinggi dalam waktu yang lama, sehingga risiko resesi meningkat, dan menyebabkan laba korporasi berisiko tergerus.

Tidak hanya The Fed, bank sentral lainnya yang juga bermasalah dengan inflasi tinggi juga bisa melakukan hal yang sama, resesi dunia pun di depan mata.

Di awal perdagangan, Wall Street sebenarnya sempat menghijau menyusul anjloknya harga minyak mentah.

Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan Brent merosot lebih dari 4%.

Penurunan harga minyak mentah bisa menurunkan tekanan harga energi. Seperti diketahui tingginya harga energi memicu masalah lonjakan inflasi, yang berdampak sangat buruk bagi perekonomian. Resesi mengancam dunia akibat tingginya harga energi.

Isu resesi kini “menyerang balik” minyak mentah. Ketika resesi terjadi artinya perekonomian mengalami kemerosotan, dan permintaan minyak mentah juga akan menurun.

Resesi bisa terjadi akibat bank sentral di berbagai negara yang sangat agresif dalam menaikkan suku bunga guna meredam inflasi.

Sebelumnya dalam simposium Jackson Hole, ketua The Fed Jerome Powell menegaskan suku bunga masih akan terus dinaikkan, dan mengesampingkan kemungkinan pemangkasan pada tahun depan.

Artinya suku bunga tinggi masih akan ditahan dalam waktu yang lama.

Yang terbaru, Presiden The Fed wilayah New York, John William, juga menegaskan perlunya kebijakan moneter yang ketat guna memperlambat demand, sehingga inflasi bisa diredam.

“Kita perlu kebijakan yang ketat untuk memperlambat demand, dan kita belum sampai di sana,” kata Williams, sebagaimana dilansir KABAREKONOMI.ID

Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga menunjukkan tanda-tada akan agresif. Anggita dewan gubernur ECB, Madis Muller mengatakan ECB seharusnya mulai mendiskusikan kenaikan 75 basis poin (bp) di bulan September.

Baca Juga