Home » Bursa Asia Berakhir Ambles, Shanghai Selamat

Bursa Asia Berakhir Ambles, Shanghai Selamat

by Tia

KABAREKONOMI.ID – Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup kembali berjatuhan pada perdagangan Selasa (11/10/2022), di tengah makin besarnya potensi resesi global akibat sikap bank sentral utama yang masih cenderung agresif.
Hanya indeks Shanghai Composite China yang ditutup di zona hijau pada hari ini, yakni naik 0,19% ke posisi 2.979,79

Sedangkan sisanya ditutup di zona merah. Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup ambruk 2,64% ke posisi 26.401,25, Hang Seng Hong Kong ambrol 2,23% ke 16.832,36, Straits Times Singapura turun tipis 0,08% ke 3.105, ASX 200 Australia melemah 0,34% ke 6.645, KOSPI Korea Selatan ambles 1,83% ke 2.192,07, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,79% menjadi 6.939,15.

Dari Australia, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) turun lebih jauh pada Oktober 2022 dan melayang di sekitar posisi terendah bersejarah karena kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) dalam satu generasi dan juga berdampak pada rumah tangga.

Indeks 0,9% menjadi 83,7, berdasarkan data dari Westpac Banking Corp. Pembacaan menyoroti bahwa pasar lebih cenderung pesimis dibanding yang optimis, dengan garis pemisah di 100.

“Indeks tetap berada di wilayah yang sangat pesimistis,” kata Bill Evans, kepala ekonom di Westpac.

“Kunci hambatan pada kepercayaan terus datang dari lonjakan biaya hidup, kenaikan suku bunga, dan kekhawatiran tentang prospek ekonomi jangka pendek,” tambah Evans.

Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) telah menaikkan suku bunga sebesar 2,5 poin persentase sejak Mei, mengikuti bank sentral lainya dalam kebijakan pengetatan cepat untuk mengendalikan inflasi.

Namun, RBA telah memperlambat laju kenaikan bulan ini menjadi seperempat poin persentase, mengakhiri empat kenaikan setengah poin berturut-turut karena bertujuan untuk menghindari jatuhnya ekonomi ke dalam resesi dalam kampanye untuk mendinginkan harga.

Mayoritas bursa Asia-Pasifik yang terkoreksi pada hari ini sejalan dengan pergerakan pasar saham global yang masih cenderung membentuk tren bearish dalam beberapa hari terakhir.

Hal ini karena pelaku pasar semakin khawatir bahwa potensi resesi global, terutama di Amerika Serikat (AS) makin membesar.

Apalagi, sejumlah lembaga terus mengingatkan ancaman resesi di AS. Terakhir, adalah CEO JPMorgan, Jamie Dimon. Dia memperkirakan AS akan jatuh ke jurang resesi dalam 6-9 bulan ke depan atau pada 2023. AS tidak hanya mengalami perlambatan ekonomi ringan tetapi mengarah ke kondisi yang serius.

Dimon menjelaskan lonjakan inflasi, dampak perang Rusia-Ukraina, serta tren kenaikan suku bunga akan memicu inflasi dalam skala yang luas.

“(Faktor-faktor) ini sangat..sangat… sangat serius karena bisa menekan ekonomi dunia dan AS. Eropa akan resesi dan itu akan menekan AS ke dalam resesi dalam 6-9 bulan ke depan dari sekarang,” tutur Dimon, kepada CNBC International.

Bursa saham AS, Wall Street yang masih ambruk membuat kepercayaan pasar akan bulan Oktober sebagai bulan “bear killer” pun makin terkikis.

Dalam sejarah bursa AS, bulan September identik dengan periode brutal karena bursa kerap tumbang pada bulan kesembilan. Pasar akan ada dalam kondisi “bearish” atau melemah pada bulan tersebut.

Bursa biasanya akan bangkit pada Oktober. Pasar keuangan di AS bahkan pada umumnya tampil impresif pada bulan ke-10 di tahun-tahun diselenggarakannya pemilu jeda AS atau midterm election. AS sendiri akan menggelar midterm election pada 8 November mendatang.

Dilansir dari Market Watch dan merujuk hitungan Stock Trader’s Almanac, sejak 1950, pernah terjadi tujuh kali pembalikan arah yang luar biasa di bursa AS pada Oktober dari kondisi market terburuk ke kondisi yang lebih baik.

Bursa S&P 500 juga pernah mengalami kejatuhan parah pada 1974, 1986, 2001, 2022, 2008, dan 2011. Market berbalik arah menjadi positif pada Oktober tahun terrsebut, kecuali pada 2008. Tuah Oktober sebagai bulan “bear killer” pupus di tengah Krisis Financial AS.

Hitungan Stock Trader’s Almanac juga menunjukkan Oktober mampu membalikkan kondisi market yang melemah “bear market” ke kondisi “bullish” sebanyak 12 kali sejak Perang Dunia II yakni pada 1946, 1957, 1960, 1962, 1966, 1974, 1987, 1990, 1998, 2001, 2002, dan 2011.

Namun, banyak analis mengingatkan jika fenomena Oktober sebagai “bear killer” tidak boleh ditelan mentah-mentah. Periode 2008 menjadi pengalaman yang perlu diperhatikan apalagi kondisi tahun ini juga sangat berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

“Bursa saham pasti memiliki tahun-tahun yang sulit dan kita tidak boleh menggampangkan tahun tersebut. Ada perubahan-perubahan dalam kondisi makro yang menekan perdagangan saham. Jujur saja, untuk tahun ini, sangat sulit memproyeksi kondisi dalam beberapa bulan ke depan,” tutur Anthony Saglimbene, chief markets strategist dari Ameriprise Financial, seperti dikutip dari Market Watch.
(**)

Baca Juga