Home » ECB Kerek Bunga 75 Bps, Kurs Euro Tetap Turun! Tanda Resesi?

ECB Kerek Bunga 75 Bps, Kurs Euro Tetap Turun! Tanda Resesi?

by Tia

KABAREKONOMI.ID, Batam – Bank sentral Eropa (ECB) kembali mengerek suku bunga acuan untuk ketiga kalinya tahun ini dan berencana untuk melakukan quantitative tightening pada neracanya.

Pada Kamis (27/10) waktu Indonesia, ECB kembali mengetatkan kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 basis poin (bps) dan mengirim tingkat suku bunga ECB menjadi 2%, lending facility 2,25% dan deposit facility 1,5%.

Dengan begitu, ECB telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak tiga kali di sepanjang tahun ini, setelah sempat mempertahankan suku bunga negatif selama delapan tahun hingga Juli 2022.

Tidak hanya itu, ECB juga mengubah syarat dan ketentuan program stimulus jangka panjang atau TLTRO III. TLTRO merupakan pinjaman yang diberikan ECB kepada bank-bank Eropa pada tingkat suku bunga yang lebih rendah 50 bps di bawah suku bunga deposito. Hal itu diyakini akan memudahkan bank-bank tersebut meminjamkan uang kepada konsumen yang pada muaranya dapat membantu merangsang perekonomian.

Namun, pada saat ini mengingat angka inflasi melonjak dan perlu dikalibrasi ulang agar konsisten dengan proses normalisasi kebijakan moneter serta untuk memperkuat transmisi kenaikan suku bunga ke kondisi pinjaman bank.

Alhasil, ECB memutuskan untuk menyesuaikan tingkat suku bunga yang berlaku untuk TLTRO III mulai pada 23 November 2022 dan menawarkan tanggal pelunasan awal sukarela kepada bank-bank debitur. Sementara tanggal jatuh tempo yang belum selesai akan menggunakan suku bunga yang mengacu pada ECB.

Meski begitu,ECB belum mengambil langkah quantitative tightening (QT) dengan mengurangi nilai neraca atau balance sheet. Hingga saat ini, nilai neraca ECB masih senilai EUR 8,8 triliun. Jika nantinya ECB akan melakukan QT maka akan melepas kepemilikan surat berharganya, sehingga menyerap lebih banyak likuiditas di pasar keuangan dan harapannya dapat meredam inflasi.

Gubernur ECB Christine Lagarde sudah mengisyaratkan akan mengambil langkah tersebut dan akan didiskusikan pada Desember tahun ini.

Langkah tersebut ditempuh guna mengendalikan angka inflasi di zona Eropa yang menyentuh rekor tertinggi sepanjang sejarah yang dimulai pada 1991. Pada Rabu (19/10), Eurostat melaporkan angka inflasi Eropa per September 2022 berada di 9,9% secara tahunan (yoy) dan berada sedikit di bawah prediksi analis di 10%. Namun, angka tersebut melampaui target ECB di 2%.

Adapun, inflasi September 2022 secara bulanan (month-to-month/mtm) naik menjadi 1,2% dari bulan sebelumnya di 0,6%. Tekanan tertinggi datang dari harga energi yang naik hingga 40,7% yoy, diikuti oleh makanan, alkohol, dan tembakau sebesar 11,8% yoy; jasa 4,3% yoy, dan barang industri non energi sebesar 11,8% yoy.

Sementara itu, inflasi inti September 2022, yang tidak termasuk harga bergejolak, tercatat sebesar 4,8% atau sesuai dengan ekspektasi. Angka tersebut naik dari bulan sebelumnya sebesar 4,3%.

Meskipun ECB telah menaikkan suku bunga acuannya, tapi nilai tukar euro masih terkoreksi. Pukul 14:28 WIB, euro masih melemah 0,14% ke posisi US$ 0,994 dan kembali diperdagangkan di bawah level paritas (EUR 1 = US$ 1). Artinya, euro menjadi lebih murah ketimbang dolar AS. Jika kurs euro melemah tentu dapat memperparah angka inflasi karena energi menjadi lebih mahal.

Ketika inflasi yang tinggi dan bertahan dalam waktu yang cukup lama, berakibat akan menggerus daya beli masyarakat. Sementara itu, tingkat suku bunga yang tinggi akan memperlambat ekspansi bisnis. Jika kedua hal tersebut terjadi bersamaan, tentu akan memperlambat perekonomian. Bahkan, dapat mendorong ekonomi ke zona resesi.

Baca Juga