KABAREKONOMI.ID – Nilai tukar dolar Singapura mencatat laju impresif melawan rupiah pada Oktober lalu, dan masih berlanjut di awal bulan ini. Mata uang Negeri Merlion ini sudah berada di atas Rp 11.000/SG$.
Melansir data Refinitiv, sepanjang Oktober dolar Singapura tercatat menguat 3,8%, menjadi kenaikan bulanan terbesar sejak Juli 2020.
Pada perdagangan Kamis (3/11/2022), pukul 9:47 WIB, dolar Singapura diperdagangkan di kisaran Rp 11.059/SG$, menguat 0,22% di pasar spot. Kemarin bahkan sempat menyentuh Rp 11.135/US$, yang merupakan level tertinggi sejak April 2020.
Penguatan dolar Singapura terjadi setelah Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) yang kembali mengetatkan kebijakannya pada Jumat (14/10/2022).
MAS mengumumkan merubah titik tengah (centre) Singapore dollar nominal effective exchange rate (S$NEER). Sementara untuk slope dan width tidak dirubah.
Untuk diketahui, di Singapura, tidak ada suku bunga acuan, kebijakannya menggunakan S$NEER (Singapore dollar nominal effective exchange rate), yang terdiri dari kemiringan (slope), lebar (width) dan titik tengah (centre).
Kebijakan moneter, apakah itu longgar atau ketat, dilakukan dengan cara menetapkan kisaran nilai dan nilai tengah dolar Singapura terhadap mata uang negara mitra dagang utama. Kisaran maupun nilai tengah itu tidak diumbar kepada publik.
Pengetatan yang dilakukan artinya MAS membiarkan dolar Singapura menguat, sehingga impor akan lebih murah. Hal ini bisa membantu meredam inflasi di Singapura.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) sebenarnya juga menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 4,75% pada bulan lalu. Tetapi kenaikan tersebut masih belum mampu membuat rupiah menguat, sebab ada risiko capital outflow akan kembali terjadi dari pasar obligasi akibat kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (AS).
Hal ini disampaikan Faisal Rachman, Ekonom PT Bank Mandiri Tbk dalam risetnya, Kamis (3/11/2022). Menurutnya kenaikan suku bunga acuan AS dimungkinkan tidak akan berhenti di sini, namun sampai semester I-2023. Begitu juga dengan Eropa, karena masih tingginya inflasi.
“Semakin lama suku bunga tinggi meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan global, dan dengan demikian memicu arus keluar modal di pasar negara berkembang, termasuk pasar keuangan Indonesia, terutama di pasar SBN-nya,” jelasnya
Sejak awal tahun hingga 27 Oktober 2022, berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI) outflow yang terjadi di pasar Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp 177,08 triliun. Sementara di pasar saham masih inflow Rp 74,7 triliun. Faisal mengatakan, kaburnya asing membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa tertekan. Kini dolar AS sudah bertengger di level Rp15.600.
“Situasi ini memberikan tekanan pada stabilitas nilai tukar Rupiah meskipun harga komoditas yang tinggi memungkinkan Indonesia untuk terus mengalami serangkaian surplus perdagangan yang besar dan mencatat peningkatan aliran masuk FDI,” papar Faisal. Bank Indonesia harus mengantisipasi ini dengan kenaikan suku bunga acuan, yang diperkirakan menjadi 5,50% pada akhir 2022 dan 5,75% tahun depan.