KABAREKONOMI.ID, Batam – Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup menguat pada perdagangan Jumat (28/10/2022), setelah dirilisnya data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) pada periode kuartal III-2022.
Investor kembali memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor SBN acuan. Hanya SBN tenor 30 tahun yang cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield dan melemahnya harga.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 30 tahun naik 4,2 basis poin (bp) ke posisi 7,529% pada perdagangan hari ini.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara kembali menurun 3,2 bp menjadi 7,527%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Sementara itu dari Amerika Serikat (AS), yield obligasi pemerintah (US Treasury) kembali menanjak pada pagi hari ini waktu AS, setelah dirilisnya data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) pada periode kuartal III-2022.
Dilansir dari KABAREKONOMI, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun naik 5,2 bp menjadi 4,373%. Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun juga menanjak 7,5 bp menjadi 4,014%.
Kemarin, Produk Domestik Bruto (PDB) AS dilaporkan tumbuh 2,6% pada periode Juli – September lalu. Sementara pada dua kuartal sebelumnya, PDB tercatat terkontraksi 1,6% dan 0,6%, artinya secara teknis sudah mengalami resesi.
Dengan PDB yang tumbuh di kuartal III-2022, artinya AS lepas dari resesi. Tetapi, hal ini tidak serta merta disambut baik oleh para pelaku pasar. Sebab, dengan PDB yang tumbuh lebih tinggi dari ekspektasi Wall Street 2,3%, ada kemungkinan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan terus agresif menaikkan suku bunga.
The Fed sepanjang tahun ini kenaikannya sebesar 300 bp menjadi 3% – 3,25% dan masih akan terus berlanjut.
Pada November nanti, bank sentral paling powerful di dunia ini diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 75 bp menjadi 3,75% – 4%. Tidak cukup sampai di situ, kenaikan masih akan terus dilakukan hingga awal tahun depan.
Berdasarkan data dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 43% suku bunga The Fed berada di level 4,75% – 5% pada Februari 2023.
Meski demikian, Wall Street Journal (WSJ) pada pekan lalu melaporkan adanya “perpecahan” di tubuh The Fed.
Beberapa pejabat The Fed secara terang-terangan juga sudah mengemukakan perbedaan pendapatnya.
Presiden The Fed San Francisco Mary Daly adalah salah satu pejabat yang menyuarakan keinginan agar The Fed bisa mengendurkan laju kenaikan suku bunga. Menurutnya, pelonggaran kebijakan diperlukan untuk mencegah ekonomi AS melambat lebih dalam.
“Pasar sudah mem-priced in kenaikan 75 bp lagi. Namun, saya ingin mengingatkan jika kenaikan suku bunga sebesar 75 bp tidak akan selamanya. Kita harus memastikan untuk tidak mengetatkan kebijakan terlalu ketat. Perang, perlambatan ekonomi Eropa, dan kenaikan suku bunga global akan berdampak ke ekonomi AS,” tutur Daly, berbicara dalam sebuah pertemuan yang diselenggarakan Universitas Berkeley California, seperti dikutip dari Reuters.
Investor menanti kepastian ke mana arah kebijakan The Fed, apakah masih tetap agresif, atau mulai mengendur.
(**)